WS Rendra dan Kritik Pembangunan

 


GHIRAHBELAJAR.COM - WS Rendra dan Kritik Pembangunan

Oleh: Ahmad Soleh

WS Rendra, siapa yang tak kenal dia? Sastrawan bernama lengkap Dr (HC) Willibrordus Surendra Broto Rendra, S.S., M.A. ini lahir di Solo, Hindia Belanda, 7 November 1935 dan mangkat di Depok, Jawa Barat, pada 6 Agustus 2009 (di usia 73 tahun). 

WS Rendra sejak muda sudah menulis puisi, naskah drama, cerpen, dan esai sastra yang tayang di berbagai media massa. Rendra pernah mengenyam pendidikan di Universitas Gajah Mada (UGM). Dia juga menerima gelar Doktor Honoris Causa dari kampusnya tersebut. (Sumber: Wikipedia).

Si Burung Merak ini juga mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada 1967. Melalui Bengkel Teater itulah ia melahirkan banyak seniman berkelas. Namun, karena kelompok teaternya terus dirongrong oleh tekanan politik, ia memindahkan Bengkel Teater ke Depok pada Oktober 1985. (Sumber: Wikipedia).

Hari ini, 7 November adalah hari kelahirannya. Meski telah lebih dari satu dekade ia mangkat, karya-karyanya selalu melekat dalam ingat. Terutama dalam kehidupan sosial, politik, budaya, dan kesusastraan kita. Dalam dunia akademis pun, karyanya tak pernah sepi untuk dibahas. Willy, kini kami benar-benar merindukan sosok Si Burung Merak.

Sekian banyak puisi yang begitu keras, tajam, menyentak, dan menghunjam kesadaran kerap lahir di tangan dinginnya, pula keluar dari mulutnya dengan memesona. Ia begitu berani melakukan kritik sosial dan politik kepada penguasa.

Salah satu puisinya yang paling mengena soal kritik tajam terhadap pembangunan adalah puisi "Kecoa Pembangunan". Puisi ini pernah ia bacakan bersama iringan musik Kantata/Saung Jabo dan Iwan Fals. Berikut puisinya:


Kecoa Pembangunan

Oleh: WS Rendra

Kecoa pembangunan…

Salah dagang banyak hutang...

Tata bukunya ditulis di awan…

Tata ekonominya ilmu bintang...

kecoa... kecoa… kecoa….


Dengan senjata monopoli

Menjadi pencuri…

kecoa… kecoa… kecoa…


Dilindungi kekuasaan…

Merampok negeri ini….

Kecoa… kecoa… kecoa…


Ngimpi ngelindur disangka pertumbuhan…

Utang pribadi dianggap utang bangsa…

Suara dibungkam agar dosa berkuasa…

Kecoa… kecoa… kecoa…


Stabilitas, stabilitas... katanya…

Gangsir bank…

Gangsir bank, Kenyataannya….

Kecoa… kecoa… kecoa…


Keamanan, ketenangan katanya…

Marsinah terbunuh, petani digusur, kenyataannya….

Kecoa pembangunan,

Kecoa bangsa dan negara

Lebih berbahaya ketimbang raja singa

Lebih berbahaya ketimbang pelacuran

Kabut gelap masa depan,

Kemarau panjang bagi harapan

Kecoa… kecoa… kecoa….


Ngakunya konglomerat

Nyatanya macan kandang….

Ngakunya bisa dagang,

Nyatanya banyak utang

Kecoa… kecoa… kecoa...


Paspornya empat,

Kata buku dua versi…

Katanya pemerataan,

Nyatanya monopoli

kecoa… kecoa… kecoa...

***

Pembacaan puisi ini ditutup dengan menyanyikan lagu "Padamu Negeri" diikuti ribuan penonton yang datang pada malam itu. Belajar dari puisi-puisi Rendra adalah belajar membaca realitas. Sebab, puisi-puisi Rendra begitu lekat dengan respons terhadap realitas sosial, politik, jua budaya. Meski dalam beberapa puisi cintanya bisa kita lihat bagaimana ia juga manusia biasa. 

Lagi pula, kata Rendra dalam puisinya, "apakah artinya kesenian bila terlepas dari derita lingkungan."

Kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi, keberanian menjadi cakrawala, dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. 


7 November 2020

Posting Komentar

0 Komentar