Menghidupkan Tradisi Literasi



GHIRAHBELAJAR.COM - Menghidupkan Tradisi Literasi 

Oleh: Ahmad Soleh 

Kemarin, saya membaca berita di Radar Bekasi versi daring tentang seorang mahasiswa PBSI FKIP Uhamka yang mendirikan perpustakaan jalanan gratis untuk anak-anak dan masyarakat di lingkungannya. Mahasiswa bernama Rifky Maulana Hakim itu bersama teman-temannya mendirikan perpustakaan jalanan sebagai upaya untuk menghidupkan kembali minat baca di kalangan milenial. 

Jauh sebelum membaca berita itu, kawan saya, Salma Fajriati, membuat gerakan literasi bertajuk Mojok Baca di Instagram. Melalui akun Instagram itu, ia menggerakkan dan mengajak pelajar serta masyarakat untuk membaca buku. Kemudian, setelah membaca mereka bisa mengirimkan ulasannya untuk ditampilkan di akun Instagram @mojokbaca

Selain itu, ada lagi mahasiswa FISIP UMJ Raja Faidz El Shidqi. Ia bersama teman-temannya yang suka berkumpul di kedai kopi mendirikan pojok baca dengan tujuan mengajak para pengunjung kedai yang mayoritas anak muda untuk kembali melek membaca. Mereka memberi nama pojok baca itu Ruang Berpikir. Sebab, di sana tidak hanya membaca, tapi kadang ada juga aktivitas diskusi. 

Saya sendiri dulu pernah ikut dengan teman-teman yang menjajakan buku-buku bacaan gratis di RPTRA kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Gerakan ngampar buku itu mendapat sambutan antusiasme dari anak-anak dan remaja yang sedang bermain di taman bermain itu. Sayangnya saya tak begitu aktif di sana. 

Tentu saja, di luar yang saya sebutkan di atas masih banyak lagi gerakan-gerakan literasi, khususnya yang bergerak di ranah pembudayaan membaca di masyarakat. Di manapun tempatnya, jalanan, taman, kedai kopi, kawasan car free day, selasar masjid, maupun di beranda media sosial. 

Saya memandang, semua itu upaya positif yang dilakukan oleh mereka yang melek literasi dan sadar akan kebutuhan membaca masyarakat. Sekecil apa pun perannya, saya yakin bisa memberikan dampak yang positif dalam membangun minat membaca masyarakat. Minimal memfasilitasi mereka yang ingin membaca tapi tidak bisa mengakses perpustakaan dan tak mampu membeli buku yang mesti diakui harganya tidak murah. 

Kemarin sore, saya diajak berdiskusi oleh teman-teman mahasiswa UMJ. Mereka para aktivis dari IMM dan ada sebagian mahasiswa umum. Dalam diskusi hangat itu, kami punya keresahan yang sama mengenai, "Kenapa literasi di kalngan kaum muda mengalami krisis?", “Kenapa angka literasi Indonesia masih kalah oleh negara-negara tetangga?”, “Bagaimana caranya membangun budaya literasi?”, dan segudang pertanyaan lainnya. 

Seperti kita ketahui, dalam catatan PISA, Indonesia berada dalam posisi yang terpuruk dalam hal literasi. Itu baru dalam hal literasi tradisional, yakni baca dan tulis buku. Belum lagi mengenai literasi digital yang tentu masih ketinggalan jauh dari negara-negara maju. Meskipun, Indonesia tercatat sebagai pengonsumsi gadget terbesar keempat dalam skala global. 

Semestinya, pola konsumsi yang besar itu bisa memberikan pengaruh positif terhadap kemajuan tradisi literasi di kalangan anak muda. Tentu banyak faktor penyebabnya. Seolah kita seperti dikatakan Yudi Latif, “Kaum muda yang mengalami kemunduran di tengah kemajuan zaman.” 

Kaum muda dengan ghirah literasi tinggi sangat dibutuhkan hari ini. Namun, semua itu berakar pada tradisi intelektual yang belum terbangun dengan baik. Banyak gerakan intelektual hanya terjebak dalam ruang diskusi, tapi minim refleksi dan aksi. Ditambah lagi, para pegiatnya masih lemah dalam hal membaca. Membaca pun masih dianggap suatu hal yang membosankan dan untuk kalangan tertentu saja. 

Padahal, siapa pun kita hari ini, membaca adalah suatu hal yang penting. Karena di era tsunami informasi ini, bila kita tidak terbiasa menangkap informasi dengan selektif, kita akan terbawa arus dan hanyut dalam narasi-narasi kontraproduktif. 

Meskipun makna literasi sendiri telah berkembang kian luas, yakni tidak hanya membaca dan menulis saja, bukan berarti kedua aspek literasi dasar itu tidak boleh kita tinggalkan. Sebab itulah, gerakan-gerakan literasi yang mulai bergeliat seperti yang saya sebutkan di atas menjadi sebuah oase bagi kegersangan dunia literasi kita. 

Membaca itu itu tentunya bukan sekadar membaca teks-teks buku atau status di medis sosial, tetapi juga membaca realitas, membaca dunia, dan segala hal yang ada di sekitar kita. Menghidupkan tradisi literasi bisa dimulai dari komunitas, pertemanan, dan lingkungan terdekat kita. 

Menghidupkan tradisi literasi juga kemudian berarti tidak hanya membangun ghirah membaca saja. Lebih dari itu, membangun tradisi literasi bermakna melakukan transformasi dari gagasan-gagasan yang dibaca dari teks menjadi sebuah perbuatan positif untuk membangun sendi-sendi kehidupan masyarakat. Mari kita dukung dan gembirakan semangat literasi agar ke depan bangsa kita tidak lagi tertinggal dari negara-negara tetangga.

Posting Komentar

0 Komentar