Ulasan Langgas Berbahasa, Bahasa Jati Diri Bangsa


GHIRAHBELAJAR.COM, Oleh: M Arbian*

Identitas Buku


Judul: Langgas Berbahasa, Obrolan Santai tentang Bahasa Indonesia dan Penuturnya
Penulis: Ahmad Soleh, S.Pd.
Penerbit: Haura
Tahun Terbit: 2020
Tebal: 113 halaman
Bisa dibeli di: Bukalapak.com 


Bahasa mencerminkan penuturnya. Begitulah kata para ahli bahasa. Ya, bahasa memang tak lepas dari individu atau kelompok masyarakat yang menggunakannya. Bahasa Jawa tentu tak lepas dari komunitas maysarakat Jawa. Begitu juga bahasa Sunda, tak lepas dari komunitas masyarakat Sunda. Bahkan, suatu bahasa di kelompok masyarakat terkecil, memiliki dialek tersendiri. Kita biasa mengenalnya dengan istilah logat atau langgam berbahasa.

Penutur bahasa Indonesia saat ini tentu mengalami perkembangan yang pesat. Bahkan, beberapa negara luar mengadopsi pembelajaran bahasa Indonesia untuk diterapkan sebagai mata pelajaran pilihan di sekolahnya. Luar biasa, bukan? Ya, bahasa perlu kita sadari merupakan salah satu kekayaan bangsa yang perlu dijaga, dikuasai, dilestarikan, dan dihargai. Sebab itu pulalah ada ungkapan “bahasa merupakan jati diri bangsa”.

Nah, bicara soal bahasa, ada salah satu buku berisi esai-esai bahasa yang menarik untuk kita simak. Buku ini ditulis oleh editor bahasa Harian Republika, Ahmad Soleh. Kumpulan esai yang dibungkus dengan judul Langgas Berbahasa ini menyajikan esai-esai yang segar seputar kebahasaan dan penuturnya. Penulisnya juga tak lepas dari pembahasan perkembangan bahasa di media massa, yang ia sendiri terjun di dalamnya.

Buku ini memberikan kita pengayaan, pertama mengenai sejarah bahasa Indonesia yang ternyata bukan lahir saat Sumpah Pemuda 1928. “Melainkan pada 2 Mei 1926, dua tahun sebelum Sumpah Pemuda.” (halaman 10). Pada 2 Mei 1926 itulah digelar Kongres Pemuda I. Dia juga menyebutkan bahwa sosok pencetus “bahasa Indonesia” adalah Moh Tabrani. Tabrani menjadi sosok yang tegas dan keras agar istilah “bahasa Melayu” diganti dengan bahasa Indonesia.

Selain itu, penulisnya juga membahas kilasan bukunya Andre Moller berjudul Ajaib, Istimewa, Kacau. Yang menarik dari tulisan ini adalah bagaimana seorang penulis asal Swedia memiliki kecintaan terhadap bahasa Indonesia. Hal itu diungkapkan Soleh untuk menegaskan siapa sesungguhnya pemilik bahasa Indonesia? “Apa boleh WNA bicara tentang bahasa Indonesia? Boleh saja. Siapa pula yang bisa melarangnya?” ungkap Soleh (halaman 13).

Di akhir ulasan itu, penulis memberikan catatan, “Justru, sebagai pemilik sah bahasa Indonesia, kitalah yang seharusnya malu apabila abai terhadap bahasa Indonesia dan malah lerbih merasa keren ketika berbahas asing.” (hlm 13).

Meski demikian, penulisnya tidak lantas memaksa untuk selalu berbahasa Indonesia baku dan kaku. Buku ini justru membuka mata kita agar berbahasa secara proporsional, berbahasa pada tempatnya. Itulah agaknya yang dipandang Soleh sebagai kondisi yang ideal. Sehingga, tidak perlu capek-capek kita saking cinta bahasa Indonesia, misalnya, semua status media sosial kita koreksi. Memang peran sebagai “polisi bahasa” diperlukan, tapi kembali lagi harus pada tempatnya.

Seolah menguatkan pendapatnya, penulis juga mengutip ulasan buku Iqbal Aji Daryono bertajuk Berbahasa Indonesia dengan Logis dan Gembira. Penekanan yang diajukan Iqbal lebih kepada penalaran berbahasa, bukan soal baku dan tak baku. Berbahasa menjadi medium untuk bermasyarakat, berinteraksi satu sama lain. Dengan bahasa yang logis dan masuk akal, ditambah jargon “gembira”, tentu membuat aktivitas berbahasa bukanlah untuk menghakimi satu sama lain, melainkan saling memberikan informasi yang lengkap dan padu. Jalannya itu ya pakai logika.

Sebagai editor bahasa, penulisnya juga memberikan beberapa usulan kata dalam bukunya ini. Hal itu terdapat di bab III “Sekadar Mengusulkan Kata-Kata”. Dalam dunia olahraga, misalnya, soleh mengajukan istilah “jawara skor” untuk padanan “top scorer”. Kemudian, di dunia teknologi informasi, penulis mengajukan istilah “data raksasa” untuk padanan big data. Selain itu, menyikapi berkembangnya tempat-tempat kerja di kafe atau resto yang kerap disebut coworking space, ia menawarkan istilah “ruang riung” yang menurutnya bisa dimaknai sebagai tempat berkumpul untuk bekerja atau melakukan aktivitas lainnya.

Buku yang tidak terlalu tebal ini menarik sekali untuk disimak, bahkan mungkin ada beberapa pembahasan yang perlu diperdebatkan. Dikemas dengan sederhana dan ringkas membuat buku ini bisa dibaca kapan dan di mana saja. Menjadi teman duduk, teman ngopi, teman menunggu antrean, dan sebagainya.

Sayangnya ada beberapa pembahasan yang hanya selintas lalu, tidak mendalam. Namun hal itu bisa dimaklumi, karena buku ini bukan buku akademis, yang sepertinya penulisnya bertujuan untuk memantik diskusi atau obrolan di antara penutur bahasa Indonesia. Hal itu penting, sebab bahasa merupakan jati diri bangsa yang perlu terus kita gali.

*Penulis merupakan pencinta buku dan penggemar Dewa19

Posting Komentar

0 Komentar