Saat HB Jassin Menemui BJ Habibie


GHIRAHBELAJAR.COM, Oleh: Hamid Basyaib

HANS BAGUE JASSIN suatu hari berkata kepada Oyon Sofyan, kepala kantor Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, bahwa ia ingin menemui BJ Habibie untuk meminta bantuan. Di pertengahan 1990an itu ia minta Oyon mencari jalan agar bisa jumpa Habibie, yang kala itu Menristek/Kepala Badan Pengembangan dan Penerapan Teknologi. 

Melalui Sekretaris Makmur Makka, akhirnya dengan agak mendadak Habibie bisa menerima Jassin di kantornya di Jalan Thamrin. Dari PDS di kompleks TIM, Jassin dan Oyon segera memanggil bajaj untuk ke kantor BPPT.

Mendengar Jassin ada di kantornya, Habibie keluar, memeluk tamunya dan membawanya ke ruang kerjanya, mengabaikan belasan tamu yang sejak tadi menunggu giliran diterima.

Jassin bercerita bahwa ia sedang menyelesaikan buku “Alquran Berwajah Puisi”; dan ia kehabisan uang untuk membayar honor penulis khat Quran. Ia bilang ia perlu Rp 25 juta. 

Habibie kontan menanggapi dengan nada tinggi bahwa jumlah uang itu terlalu kecil bagi orang sebesar Jassin.

“Pak Jassin kan bekerja keras untuk umat, masak minta uang cuma dua puluh lima juta!”, kata Habibie. “Sudah, saya kasih 150 juta, ya.”

“Tidak, Pak Habibie. Saya cuma perlu 25 juta.”

Terheran sejenak, Habibie “menawar” lagi. 

“Kalau begitu, saya beri 100 juta saja.”

“Tidak, Pak. Saya hanya perlu 25 juta.”

Habibie makin heran melihat kekerasan sikap Jassin, yang lebih tua dua puluh tahun dari dirinya. Akhirnya ia mengalah. 

“Okelah, kalau begitu saya kasih 50 juta, ya,” katanya, sambil bersiap menulis cek. 

“Tidak perlu sebanyak itu, Pak Habibie. Yang saya perlukan hanya 25 juta.”

Sambil tak habis pikir, Habibie akhirnya menyerah, dan menulis cek senilai yang diminta Jassin. Pasti baru kali itu ia melihat ada orang yang begitu gigih melakukan mark down, bukan mark up anggaran sesuai norma umum yang berlaku. 

***

Seminggu kemudian Jassin mengeluh uang dari Habibie itu habis untuk membayar penulis khat dan keperluan-keperluan lain. Lalu ia bilang kepada Oyon bahwa ia masih punya rumah di Jelambar, Grogol. “Kalau perlu jual saja rumah itu. Yang penting buku ini bisa terbit,” katanya. Yang dimaksud Jassin adalah rumah pemberian Gubernur Ali Sadikin beberapa tahun sebelumnya di Jakarta Barat. 

Melalui perantaraan seorang kawan, Oyon berhasil menemukan seorang pengusaha percetakan yang bersedia mencetak karya Jassin itu. Buku dicetak hanya sedikit, dan segera menimbulkan kontroversi, persis seperti yang terjadi pada terjemahan Jassin, “Alquran Bacaan Mulia” dua puluh tahun sebelumnya. 

Ia merasa tak ada yang salah sedikit pun dengan karya barunya itu, seperti juga karya sebelumnya. Tapi ia merasa sudah terlalu tua untuk bertengkar. 

“Kalau saya berumur lima puluh, saya lawan mereka semua,” kata Jassin kepada Oyon, yang hapal kekerasan hati Jassin di balik sikapnya yang lembut dan tutur katanya yang santun. 

Lalu Jassin bersikap seperti gaya lamanya: tidak mengacuhkan segala macam kontroversi menyangkut dirinya, dan berpegang teguh pada apa yang diyakininya. Ia jalan terus. Selurus-lurusnya.***


*Artikel ini seluruhnya dikutip dari laman Facebook Hamid Basyaib

Posting Komentar

0 Komentar