Akhlak Pemimpin Menurut Ahmad Syafii Maarif


 

GHIRAHBELAJAR.COM, Setiap kehidupan suatu bangsa yang berlangsung, hampir selalu dihadapkan dengan problem kepemimpinan. Ungkapan “krisis kepemimpinan” akhirnya sering kita ucapkan di berbagai kesempatan berdialog. Yang kadang tanpa dibarengi dengan muhasabah mengenai bagaimana seharusnya kita tanggulangi dan mulai dari mana untuk mengentaskan persoalan ini.

Hal terpenting dalam mengelola sebuah kepemimpinan adalah adanya akhlak. Jelas sekali, dan bahkan wajib, seorang pemimpin mesti memiliki akhlak yang mulia. Bukan saja karena dia mesti memberi contoh kepada orang-orang yang dipimpinnya, tetapi juga lantaran hal itu berkaitan dengan tanggung jawabnya sebagai pemimpin yang suatu saat bakal dimintai pertanggungjawabannya. Yang pertama kali akan dihisab di hari akhir kelak, ya para pemimpin!

Ahmad Syafii Maarif atau yang sering kita sapa Buya Syafii pernah membahas bagaimana pemimpin itu selalu dihadapkan dengan kenyataan dan idealisme. Pertama-tama, Buya Syafii mengutip ungkapan Yunani kuno, “proses pembusukan ikan yang mati berasal dari kepala, kemudian menjalar ke seluruh tubuhnya.” Buya menjelaskan, kepala ikan dalam ungkapan ini berarti pemimpin dan seluruh tubuh itu adalah manusia yang dipimpinnya.

Ya, pemimpin adalah uswah, contoh bagi orang lain yang dipimpinnya. Sehingga, ketika pemimpinnya “busuk” maka perlahan tapi pasti orang-orang yang ia pimpin pun akan ikut melakukan kebusukan yang sama. Kehilangan sosok uswah, teladan, dan orang yang bisa menjadi contoh adalah penyebab fatal dari krisis kepemimpinan. Sebab, bila sebuah kepemimpinan diberikan kepada orang-orang yang tidak memiliki kompetensi, akan terjadi kehancuran.

Dalam ajaran Islam, setiap manusia adalah pemimpin yang suatu saat akan diminta pertanggungjawabannya. Maka, sebenarnya setiap diri kita punya kewajiban untuk senantiasa menyiapkan diri menjadi pemimpin, senantiasa memantaskan diri untuk layak dan mampu memimpin. Profil kepemimpinan ideal mesti kita miliki. Kuncinya adalah akhlak yang mulia. Bila akhlakul karimah sudah tidak menjadi konsen kita, ini berbahaya.

Sebab, akhlak tidak semata-mata persoalan individual. Melainkan juga akan berkaitan dengan kondisi sosial atau lingkungan tempat kita tinggal. Akhlak yang baik mencerminkan pemahaman agama dan intelektual yang baik. Akhlak adalah kunci keberhasilan bagaimana hubungan kita dengan sesama makhluk hidup, yang juga memiliki dimensi vertikal. Sebab, akhlak adalah pengejawantahan nilai-nilai ketuhanan. Hadis riwayat Ibnu Abbas RA berbunyi, “Sesungguhnya yang paling utama dari kamu sekalian adalah yang paling baik budi pekertinya.”

Dalam ajaran Islam, ada prinsip “amanah jangan diminta, tetapi bila mendapat amanah pantang untuk menolak.” Namun, apa yang kita lihat saat ini, jabatan, kedudukan, posisi strategis menjadi suatu yang sangat menggiurkan untuk diperebutkan. Beragam motif dan tujuannya, tentu saja. Terkadang, hal-hal semacam ini menabrak batas-batas etika, adab, dan bahkan nilai agama. Adanya fenomena saling menjelekkan satu sama lain untuk bersaing, menggunakan hoaks untuk menjatuhkan lawan, dan black campaign lainnya menjadi penanda bagaimana krisis kepemimpinan itu benar-benar terjadi.

Maka, mau tidak mau, sebagai Muslim yang baik, kita mesti mengdepankan akhlakul karimah dalam mencapai sesuatu. Termasuk dalam menerima dan menjalankan amanah sebagai pemimpin, entah dalam jabatan atau posisi apa pun. Seorang pemimpin, menurut Buya Syafii Maarif mesti memiliki akhlak yang mengkristal dalam dirinya, yakni “memimpin untuk melepaskan”. Menurut Buya, seorang pemimpin jangan terlalu lama bahkan mengabadikan kekuasaannya. Ia harus siap untuk melepaskan posisinya kepada generasi berikutnya.

Seorang Muslim, mesti menerapkan kepemimpinan berlandaskan nilai-nilai Islam autentik yang dipahami secara jelas dan benar. “Prinsip dan mekanisme kepemimpinan perlu dirumuskan secara jelas, yaitu berdasarkan pemahaman yang benar terhadap sumber-sumber ajaran Islam yang autentik, dan berdasarkan kajian sosio-historis di mana kepemimpinan itu akan dioperasikan,” ujar Buya Syafii.

Dalam budaya kepemimpinan, Buya Syafii mendorong terciptanya budaya dialogis atau syura dalam mengambil berbagai keputusan. “Pendekatan dialogis inilah yang dapat mencegah kita dari sikap tertutup,” ujarnya. Sikap tertutup tentu tidak baik bagi seorang pemimpin, di mana ia mesti memimpin orang-orang yang sangat berpotensi untuk berbeda pemikiran dan pandangan. Olehnya, pemimpin harus demokratis sejak dalam pikiran.

Posting Komentar

0 Komentar