Memaafkan Menurut Islam dan Ilmu Psikologi


 

GHIRAHBELAJAR.COM, Oleh M. Sulhan, S.Pd.*

Jika Sang Kuasa mengizinkan kita untuk menatap indahnya mentari pagi dan indahnya rembulan, ucapkanlah salam disertai sebuah harapan, dengan penuh cinta dan kebahagiaan dengan cita yang membumi dan mengangkasa, terhias senyum tanpa dusta, hati tanpa luka, teriring kata sarat doa.

Dalam kehidupan ini, rasa sakit dan kecewa sering menghampiri jalan juang para pemenang, entah dia yang berjuang dalam melawan rasa sakit, rasa malas, dan rasa kecewa atau bahkan mereka yang berjuang untuk keluarga, untuk agama, atau untuk bangsanya, rasa sakit atau disakiti, rasa kecewa atau dikecewakan bagai mawar yang bermekaran di sepanjang jalan kehidupan kita indah tapi berduri. Akan tetapi kita bisa memilih untuk terus meredam luka dan rasa sakit atau melepaskan dan memaafkan dia yang menyakiti sehingga kita hadir sebagai figur teladan peradaban.

Aku memaafkanmu “Jangan” itu berat, biar aku saja (kata Dilan), kata maaf (forgiveness) memang ringan, tapi untuk memperoleh maaf sangat berat. Dalam dinamika kehidupan, perkataan maaf dan memaafkan yang sering kita dengar menjadi hal yang biasa jika tanpa ada rasa yang memaknai kata maaf dan memaafkan, sehingga pemberian maaf tidak berdampak pada laku dan ucap serta hubungan yang terjalin kembali membaik antara orang yang menyakiti dan orang yang disakiti. Sehingga memaafkan bukan sesederhana mengatakan “aku memaafkan kamu” Augsberger (1981) dalam Worthington, 1998).

Forgiveness sebagai salah satu konsep dalam pikologi positif hadir dalam realita hubungan setiap individu yang selalu mengalami gejolak, baik yang berkaitan dengan fisik maupun psikis, kesalahan atau kesalahpahaman antar individu sering kali memicu afektif negatif yang berujung pada konflik.

Dalam hal inilah, esensi memaafkan menjadi langkah preventif dalam pemulihan hubungan interpersonal antar individu setelah terjadinya konflik. Selain itu, memaafkan berfungsi untuk membentuk manusia yang sehat dalam berfikir dan bertindak yang tentunya hal ini akan berdampak pada kualitas diri yang baik.

Wothington dalam memaknai kata memaafkan sebagai sesuatu yang dapat mengurangi dan membatasi rasa benci dan dendam yang bersemayam dalam hati individu yang memungkinkan mengacu pada pembalasan. Dalam bentuk sederhananya memaafkan dapat mengarahkan individu untuk merasakan suatu kebaikan dari pelaku, dengan kata lain memaafkan juga akan mengarahkan individu pada perasaan positif.

Memaafkan adalah salah satu upaya yang dapat memutus lingkaran kebencian, dendam, marah dan rasa pahit (Rusdi, 2011). Memaafkan sebagai salah satu hal yang tersulit dilakukan di dunia Worthington (1998). Memaafkan adalah sebuah prinsip yang menyebar melalui banyak agama, bahkan hal ini tidak menuntut adanya konteks agama pada kali pertamanya (Worthington, 1998).

Nashori (2007), mendefinisikan pemaaf atau memaafkan merupakan suatu hal untuk menghapus luka atau bekas luka yang bersarang di dalam hati setiap individu. Pemaaf secara dewasa bukan berarti mengahpus semua luka atau perasaan negative yang bersarang, tetapi menjadi suatu keseimbangan perasaan. Keinginan untuk melakukan bukan berarti mengahapus semua perasaan yang negative yang pernah ada. Hal ini dapat dicapai oleh setiap individu asalkan setiap individu bisa belajar dan memahami bahwa setiap individu memiliki kekurangan (Warnaningrum, 2016).

Dalam perspektif Islam memaafkan merupakan bagian dari sempurnanya Iman, menjadi prasyarat memperoleh kebahagiaan akhirat, sebagaimana firman Allah SWT.

وَجَزَٰٓؤُاْ سَيِّئَةٖ سَيِّئَةٞ مِّثۡلُهَاۖ فَمَنۡ عَفَا وَأَصۡلَحَ فَأَجۡرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلظَّٰلِمِينَ ٤٠

Artinya: "Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim." (QS Ash-Shura ayat 40).

Perintah memaafkan pun tertuang dalam hadis Rasululllah SAW, “Iman yang paling utama adalah sabar dan pemaaf atau lapang dada.” (HR Al-Bukhari dan Ad-Dailami). Bahkan pribadi yang mulia baginda Rasulullah, memberikan keteladanan dalam hal kesabaran dan memberi maaf, hal ini, bisa kita cermati dari beberapa peristiwa di antaranya:

Suatu ketika, seseorang lewat memasuki gerbang baginda Nabi dan melemparkan kotoran ke dalam wadah masakannya. Pernah suatu hari pula, saat beliau sedang shalat di serambi rumahnya, seseorang melemparkan tulang domba, darah, dan kotorannya. Di waktu yang lain, ketika Nabi kembali dari Ka'bah, seseorang mengambil kotoran dan melemparkannya ke wajah dan ke seluruh kepala beliau.

Ketika beliau pulang, salah seorang putrinya membasuh dan membersihkannya sambil menangis. "Jangan menangis putriku," kata Rasulullah, "Allah akan melindungi ayahmu", bahkan peristiwa besar yang direkam sejarah, saat Rasulullah berada di Tha’if dan mendapatkan hinaan dari tiga orang pemuka suku Tsaqif dan serangan dari budak-budak mereka. akan tetapi, dalam setiap keburukan, kekerasan dan kekejian yang mereka lakukan, Rasulullah yang mulia tidak pernah membalasnya dengan kejahatan dan kekejian yang serupa, justru beliau memaafkan dan mendoakan hidayah atas mereka, dari do’a dan maaf itulah puncak kejayaan dan dakwah Rasulullah sampai pada kita hari ini, maka, padanan kata maaf adalah sebuah karya fenomenal yang bisa mengguncang sejarah.

Karena itu, mari kita setting hati dan fikiran kita agar menjadi figur yang pemaaf, menurut Enright and Fitzgibbons’s (2000) memaafkan memilki empat fase atau tahapan yakni: pertama, Fase pembukaan (uncovering), di fase ini, jiwa kita akan melawan rasa sakit, sedih, kecewa, bahkan emosional karna tersakiti, atau bahkan tidak dihargai, kemudian kita akan masuk pada fase kedua, fase pengambilan keputusan, dalam fase ini kita atau dia yang tersakiti akan berpikir secara rasional dalam mengambil sebuah keputusan, dengan argumen bahwa memaafkan akan memiiliki nilai yang positif bagi dirinya, fase ketiga, yakni, fase tindakan, pada fase ini akan terjadi pembentukan pola pemikiran yang baru (reframing) yang memengaruhi perspective taking, empati dan rasa iba seseorang, dan fase keempat,yakni, fase hasil, dalam fase ini, kita atau dia yang tersakiti (korban) akan merasakan kelegaan emosional (terbebas dari amarah dan dendam)

Akhirnya, aku memaafkanmu, memaafkan setiap luka dan duka atasmu, memaafkan segala khilaf dan lupa, karena kamu adalah aku, aku yang tak sempurna, dalam canda dan tawa, dalam jiwa dan raga, dalam segala cinta, dunia yang fana, yang bermuara pada sang kuasa.


Biodata: M. Sulhan, S.Pd, merupakan Mahasiswa Pascarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Konsentrasi Psikologi Pendidikan Islam

Posting Komentar

0 Komentar