Mengenal Lev Vygotsky dan Falsafah Socio-Constructivism


GHIRAHBELAJAR.COM, Oleh Diki Hermawan, S.Pd., M.Ed.(C).*

Dalam artikel ini, penulis ingin membawa sebuah paradigma yang mungkin tidak menemukan banyak ruang dalam diskursus pendidikan di Indonesia. Hal ini menjadi penting, ketika Indonesia berada pada suatu fase untuk mendefinisikan pendidikan modern abad 21 yang akan dilakukannya. Tulisan ini adalah poster penyadaran bagi kawan-kawan pendidik, bahwa pendidikan modern abad 21, tidak semata dapat dipandang menggunakan kacamata barat. Bahkan kita tidak boleh membiatkan pendidikan modern negeri kita, dikooptasi oleh rasionalitas neoliberalisasi pendidikan yang diejawantahkan lewat konsep-konsep pendidikan modern seperti yang negara-negara barat lakukan.

Melalui tulisan ini, penulis ingin memberikan sebuah bacaan alternatif. Sebuah santapan pemahaman yang menjadi penyimbang bahwa landasan filosofis dair pendidikan modern tidak semata harus menghamba pada teknologi. Namun, intisari dari pendidikan modern adalah sebuah aktivitas berupa hubungan dinamika sosial antara seorang guru dengan seorang murid di lingkungan belajarnya.

Landasan filosofis inilah yang disebut sebagai socio-constructivism. Sebuah falsafah pendidikan progresif yang dikembangkan oleh seorang yang mampu menjembatani dunia pendidikan dan psikologi, Lev Semyonovich Vygotsky (Лев Семёнович Выготский). Dalam artikel ini, kita akan lebih dulu membahas beliau sebagai tokoh utama dalam falfasah pendidikan ini.

Perjalanan Mengenal Vygotsky


Penulis menyelami pikiran Vygotsky selama masa studi yang penulis tempuh dalam studi magister di Institute of Psychology and Education, Kazan Federal University, Rusian Federation. Institut tersebut adalah institut pendidikan terbaik di Eropa Timur dan Nomor 8 terbaik di dunia. Di kampus itu juga, pikiran-pikiran Lev Vygotsky menjadi pondasi yang diajarkan kepada para mahasiswa ilmu pendidikan Rusia. Sehingga bisa dibilang bahwa falsafah socio-constructivism ini juga yang dipraktikkan secara nyata di Rusia.

Melalui Vygotsky, cakrawala penulis tentang pendidikan sebagai suatu bidang ilmu sangat terbuka. Ternyata, ilmu pendidikan itu adalah sebuah disiplin ilmu yang harus banyak terlibat dengan disiplin ilmu lainnya, seperti psikologi, politik, sosial, dan budaya. Melalui pikiran-pikiran Vygotsky juga, penulis memahami bahwa menjadi seorang pendidik yang baik, tidak semata cukup dengan mempelari ilmu pendidikan, tapi juga wajib mendalami ilmu psikologi, politik, sosial, dan budaya. Sehingga dengan kelengkapan dukungan interdisipliner tersebut, para guru di Rusia mampu mewujudkan sebuah gagasan utopis tentang personalized learning menjadi serealistis mungkin.

Berangkat dari terbukanya pikiran penulis tentang Socio-constructivism inilah yang memberikan kegundahan ekstra dalam diri penulis. Sepertinya, pendidikan Indonesia sudah tercerabut jauh dari akarnya falsafah pendidikan Taman Siswa. Sepertinya, falsafah-falsafah pendidikan yang dibawa oleh Ki Hadjar Dewantara berubah hanya menjadi slogan dalam spanduk yang dipasang saat hari guru atau hari pendidikan nasional.

Falsafah pendidikan luhur yang menjadi blueprint pendidikan ideologi pendidikan Indonesia itu, hampir punah digerus oleh berbagai kepentingan. Penggerus terbesarnya adalah kepentingan ekonomi dan kekuasan modal. Ketika para pelaku ekonomi berkepentingan untuk mengkooptasi dunia pendidikan untuk menjadi penghasil tenaga kerja, maka tergusurlah Taman-taman yang menjadi tempat tumbuhnya anak-anak manusia yang bernama sekolah itu. Digantikan dengan didirikannya pabrik-pabrik penyedia jasa layanan pendidikan penghasil tenaga kerja.

Berangkat dari keresahan itulah, penulis melakukan perlawanan. Penulis menyediakan socio-constructivism yang merupakan basis progresif pendidikan modern untuk dapat menjadi antitesis kubu sebelah, pendidikan modern berbasis neoliberal. Melalui tulisan-tulisan inilah perlawanan itu dilakukan.

Penulis juga pernah berjanji pada seorang senior yang menjadi instruktur penulis dalam gerakan mahasiswa, bahwa penulis akan mencari obat bagi pendidikan Indonesia dari Rusia. Socio-constructivism inilah obatnya, yang penulis bawa untuk melawan gejala dehumanisasi yang terjadi dalam pendidikan Indonesia kekinian yang dikungkungi oleh paham neoliberal.

Seorang Psikolog, Linguis, dan Pendidik


Lev Semyonovich Vygotsky, lahir pada 17 November 1896 di Orsha, Kekaisaran Rusia, kini wilayah Orsha masuk dalam teritori Belarus. Beliau wafat dalam usia relatif muda, 37 tahun dikarenakan tubercolosis pada 11 Juni 1934 di Moscow, Uni Soviet. Dalam masa hidupnya yang singkat itu, Vygotsky menjadi salah satu akademisi terbaik di Uni Soviet.

Vygotsky dikenal sebagai seorang ilmuan lintas disiplin ilmu. Namun, namanya harum dalam bidang psikologi. Vygotsky masuk dalam daftar 100 psikolog terbesar dunia pada urutan 83. Beliau juga menjadi satu dari tiga psikolog berkebangsaan Soviet/Rusia dalam daftar tersebut.

Luar biasanya, dalam rentang waktu hidupunya yang pendek dan penuh perjuangan menghadapi penyakitnya itu, Vygotsky mampu menghubungkan tiga disiplin ilmu, psikologi, linguistik, dan pendidikan. Bahkan hingga kini, institut dan fakultas ilmu pendidikan di Rusia, menjadi satu dengan psikologi. Sehingga setiap calon psikolog juga mempelajari bagaimana caranya mendidik, di saat yang sama, para calon guru diajarkan bagaimana caranya menerapkan ilmu psikologi dalam kelas dan sekolah mereka. Tujuan utamanya adalah membuat sekolah-sekolah di Rusia menjadi sekolah yang sehat untuk tumbuh kembang mental anak-anak.

Walaupun Vygotsky adalah seorang akademisi kebanggaan Soviet, dirinya merupakan penentang utama pengembangan Marxist Psychology. Baginya, perbedaan dan pertentangan pendapat serta perspektif dalam disiplin ilmu, tidak bisa direcoki lebih jauh demi kepentingan ideologi semata. Jika memang, para pengusung Marxist Psychology mengembangkan psikologi berbasis ideologi tersebut, mereka harus benar-benar bertanggungjawab menyajikan seluruh sistem dan metode baru dalam teori psikologisnya. Hal inilah yang membuat Vygotsky, dapat diterima bukan hanya oleh para akademisi dari sisi timur, namun juga para akademisi dari sudut barat.

Vygotsky mengajarkan tiga perspektif kepada para mahasiswanya dalam menelaah fenomena-fenomena psikologis dan pedagogis:

Pertama, Instrumental approach, yakni pendekatan yang bertujuan untuk memahami cara manusia menggunakan suatu objek sebagai media untuk menolongnya dalam menyusun ingatan dan penalaran. Kedua, Developmental approach, yakni pendekatan yang berfokus membahas bagaimana anak-anak dapat mengakuisisi fungsi-fungsi kognitif yang lebih tinggi dalam tumbuh kembangnya. Ketiga, Cultural-historical approach, yakni pendekatan yang mempelajari bagaimana aspek sosial dan budaya saling berinteraksi membentuk sebuah pola-pola di masyarakat yang membentuk terjadinya mediasi dan pengembangan di dalam lingkungan tersebut.

Vygotsky mampu menghubungkan ilmu psikologi dengan pendidikan melalui proses-proses sosial. Dalam bukunya Educational Psychology, Vygotsky membahas dengan gamblang bagaimana peran dan cara menerapkan psikologi dalam pendidikan. Teorinya inilah yang menjadi dasar dari falsafah pendidikan socio-constructivism yang akan kita bahas pada bagian II rangkaian artikel ini.

Selain dalam dunia psikologi, Vygotsky di akhir-akhir masa hidupnya menaruh perhatian yang sangat besar terhadap pendidikan. Beliau menghasilkan buah pikir yang disebut teori pendidikan developmentalis. Sebuah teori pendidikan yang percaya bahwa anak-anak tumbuh dan belajar sesuai dengan Zone of Proximal Development (ZPD) nya sendiri yang unik satu sama lain. Vygotsky mendefinisikan ZPD sebagai suatu jarak antara level perkembangan aktual seorang anak ditentukan berdasarkan kemampuannya dalam melakukan problem solving terhadap masalahnya secara mandiri.

ZPD mengategorikan kemampuan anak dalam menyelesaikan masalah tersebut dalam tiga kategori. Pertama, zona ketika seorang anak tidak dapat melakukan problem solving sama sekali. Kedua, zona ketika seorang anak dapat melakukan problem solving, namun masih memerlukan bantuan dan bimbingan dari guru atau rekan sebaya. Ketiga, zona ketika seorang anak dapat melakukan problem solving secara mandiri, sekalipun caranya adalah dengan sadar melakukan kerjasama dengan pihak lain.

Vygotsky percara bahwa proses belajar seorang anak adalah proses menggerakkan posisi ZPD-nya terhadap masalah pada suatu objek secara bertahap dari zona pertama, hingga zona ketiga. Lebih jauh kita akan bahas khusus terkait developmentalisme pada bagian III rangkaian artikel ini.

Buah pikir dari tokoh inilah yang akan penulis kupas dan sajikan kepada anda untuk mempromosikan socio-constructivism sebagai landasan filosofis pendidikan modern di Indonesia. Buah pikir dari seorang akademisi progresif yang menyadari bahwa potensi belajar manusia terletak pada kemampuannya untuk beraktivitas bersama manusia lain.

Sehingga pendidikan yang dilakukan, tidak hanya menghasilkan anak-anak pintar yang mampu menyelesaikan soal-soal eksak dengan cepat melebihi usianya. Tapi juga mampu mendidik manusia-manusia yang baik dan berprikemanusiaan. Konsep pendidikan humanis prgresif inilah yang penulis ketengahkan dan kampanyekan untuk menghadapi rasionalitas pendidikan neoliberal di Indonesia.



Biodata: Diki Hermawan, S.Pd., M.Ed.(C). Sarjana Pendidikan Bahasa Indonesia, FKIP Uhamka, Jakarta. Lulusan terbaik FKIP Uhamka Tahun 2018. Kader PK IMM FKIP Uhamka. Master Candidate of Education Science at Institute Psychology and Education, Kazan Federal University, Republic Tatarstan, Russian Federation. Saat ini Ketua PCIM Rusia 2019-2022.

Posting Komentar

0 Komentar