Toxic Masculinity Versus Feminism


GHIRAHBELAJAR.COM, Oleh Sheila Hariry, S. Pd, Mahasiswa Pascasarjana Interdiciplinary Islamic Studies (Konsentrasi Psikologi Pendidikan Islam) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Dalam kehidupan ini, kita diperhadapkan dengan berbagai budaya yang ada, dan budaya-budaya inilah yang selalu dipercaya oleh masyarakat sebagai suatu hal yang baik. Begitu banyak kebudayaan yang sampai saat ini masih berlanjut. Sebagai contoh, yaitu budaya maskulin pada laki-laki atau biasa disebut dengan istilah toxic masculinity. Konsep dari toxic masculinity tidak lagi awam di Indonesia, terutama di generasi anak muda.

Toxic masculinity sering kali dikaitkan dengan konsep ideal mengenai bagaimana masyarakat harus berpikir, bersikap, dan bertindak sesuai dengan standar tertentu di masyarakat. Maskulinitas sendiri bisa berpotensi menjadi “toxic” ketika standar yang dijunjung ini membahayakan bagi diri laki-laki tersebut, maupun orang lain. Budaya ini telah dipercaya dari generasi ke generasi sebagai acuan bahwa laki-laki adalah gender yang harus melebihi perempuan. Jika diartikan kedalam bahasa Indonesia, toxic masculinity ini berarti “Maskulinitas yang beracun”.

Jadi, singkatnya toxic masculinity adalah pandangan sempit mengenai peran gender dari laki-laki. Dengan kata lain, toxic masculinity juga didefinisikan sebagai tuntutan dari lingkungan sosial dan budaya bagi kaum lelaki untuk berperilaku sesuai dengan tuntutan tersebut.

Istilah toxic masculinity dikemukakan oleh Stepherd Bliss, seorang psikolog pada 1990. Di antara ciri-cirinya adalah penghindaran ekspresi emosional, ekspektasi tinggi terhadap dominasi fisik, seksual dan intelektual, serta penguasaan sistematis terhadap pendapat, tubuh, dan perasaan perempuan. Sederhananya, toxic masculinity merupakan konstruksi sosial tentang bagaimana seharusnya laki-laki berperilaku. Standar tertentu yang terbentuk pun memaksa laki-laki untuk memenuhinya agar disebut “jantan” atau laki-laki sejati. Konsep ini sangat erat dengan budaya patriarki, di mana laki-laki dianggap subjek dalam tatanan sosial.

Seiring dengan berjalannya waktu, konsep toxic masculinity semakin lama semakin banyak untuk diteliti yang mana berusaha untuk melihat dinamika, dampak, penyebab kemunculan dari konsep ini di masyarakat. Di dalam literatur akademis, konsep toxic masculinity juga dikenal sebagai traditional masculine norms, dan conformity to masculine norms yang membahas standar norma yang dipegang dan berlaku dari laki-laki di mana memiliki dampak negatif pada dirinya serta orang-orang terdekatnya.

Toxic masculinity diawali dengan kebangkitan gerakan laki-laki Mythopoetic tahun 80-an dan 90-an. Gerakan ini sebagai tanggapan dari adanya gerakan feminisme dan sebagian besar didukung oleh buku Robert Bly yang berjudul Iron John. Dalam buku ini, Bly menegaskan bahwa gerakan feminisme menyebabkan laki-laki untuk memeriksa sisi feminisnya dengan meninggalkan kebiasaan atau ritual laki-laki yang sering mereka lakukan. Adapun penanaman pemahaman toxic masculinity dimulai dari pola asuh orang tua terhadap anak.

Biasanya anak laki-laki diajarkan bahwa mereka akan dihukum karena melakukan sesuatu yang bersifat “perempuan”, mulai dari main boneka, menangis, dll. Selanjutnya, Frank Pittman berpendapat bahwa toxic masculinity dihasilkan dari perempuan yang membesarkan anak laki-laki tanpa kehadiran panutan laki-laki, sehingga menyalahkan perempuan atas keberadaannya. Toxic masculinity ini sedikit banyaknya menuntut lelaki bersikap sesuai “standar” yang sudah ditetapkan masyarakat. Lelaki dituntut tidak boleh menangis dan jika menangis, maka lelaki tersebut sering dianggap “cengeng”. Padahal, menangis adalah luapan emosi yang tidak memandang gender dan bersifat manusiawi. Jadi, tidak ada salahnya lelaki ataupun perempuan itu menangis.

Toxic masculinity juga berhubungan dengan patriarki. Secara umum, patriarki merupakan sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti. Sebaliknya, patriarki menempatkan perempuan sebagai subordinat dan memposisikan laki-laki sebagai pemegang kontrol utama yang mendominasi dan mengatur perempuan.

Lalu, praktik sistem patriarki kerap membawa perempuan ke dalam posisi yang tidak adil. Ketidakadilan tersebut juga dapat masuk ke dalam beragam aspek kehidupan, seperti aspek domestik, ekonomi, politik, dan budaya. Bentuk nyata ketidakadilan gender tersebut dapat juga terlihat dari kesenjangan antara peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Dalam permasalahan ini, terdapat peranan penting dari feminisme. Seperti yang telah diketahui bahwa feminisme merupakan gerakan yang menuntut dan mengupayakan kesetaraan gender.

Sejak feminisme gelombang kedua muncul pada tahun 70-an, feminisme tidak lagi secara eksklusif memperjuangkan perempuan. Namun, lebih luas lagi feminisme berjuang melawan patriarki untuk kesetaraan gender. Akibatnya, feminisme tidak hanya memperjuangkan hak perempuan untuk mengisi ruang yang umumnya diisi oleh laki-laki, namun juga untuk memperjuangkan kebebasan laki-laki untuk tidak mengikuti standar maskulinitas.

Dapat kita pahami bahwa baik laki-laki maupun perempuan sama-sama budak dan korban dari budaya patriarki. Budaya patriarki secara umum memang berpihak kepada laki-laki, namun keberpihakan itu diberikan dengan syarat menunjukkan maskulinitas tradisional. Akibatnya laki-laki takut akan kehilangan kejantanannya. Yang harus dipahami di sini bahwa feminisme tidak memiliki agenda untuk menghilangkan status maskulin seorang laki-laki, namun membebaskan laki-laki untuk akhirnya jujur dengan ekspresi gender yang disukai. Seorang laki-laki feminis tidak takut akan kehilangan maskulinitasnya karena mereka menyadari bahwa tidak ada yang salah dari tidak berperilaku maskulin.

Untuk menghentikan siklus toxic masculinity dapat dilakukan dengan cara mengajarkan anak sejak dini bahwa anak laki-laki juga boleh menangis, mencurahkan apa yang dirasakan, menghindari ujaran yang merendahkan perempuan, mengajarkan konsep konsensual sejak dini sesuai usia anak. Sudah saatnya kita baik laki-laki maupun perempuan menanamkan kesadaran dan pola pikir baru bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara, kita sama-sama manusia yang dianugerahi pikiran dan perasaan, kita berhak untuk mengekspresikannya dengan cara yang baik dan benar.

Toxic masculinity, membahas tentang anggapan sempit terkait peran gender dan sifat laki-laki. Karena itu, perlu kita mempelajari bagaimana respon Al-Qur’an terhadap toxic masculinity. Toxic masculinity hampir terjadi pada berbagai bidang kehidupan tidak terkecuali dalam berumah tangga. Jika seorang suami memiliki persepsi yang sempit tentang maskulinitas akan menganggap bahwa kegiatan seperti memasak, menyapu rumah, dan mengasuh anak adalah tugas perempuan. Sehingga ia enggan melakukannya. Persepsi seperti inilah yang sejatinya ditakutkan dari adanya toxic masculinity. Apalagi dalam kehidupan keluarga yang semestinya saling bekerja sama, namun karena adanya pandangan yang sempit terhadap maskulinitas membuat seorang suami begitu anti terhadap pekerjaan istrinya.

Terkait hal ini, dalam Islam dijelaskan tentang pembagian identitas laki-laki dan perempuan bukan ditunjukkan dengan tidak diperbolehkannya pekerjaan perempuan dikerjakan oleh laki-laki. Memang, pada aspek-aspek tertentu seorang laki-laki diharamkan menyerupai perempuan misal dalam berpakaian. Namun bukan berarti jika semua pekerjaan perempuan tidak boleh dikerjakan laki-laki. Hanya saja tren maskulinitas laki-laki yang ‘gagah’ nampaknya telah membudaya. Bahkan jika ada suami yang melakukan pekerjaan rumah akan mendapat julukan suami takut istri di rumah. Lalu bagaimana sesungguhnya al-Qur’an melihat fenomena toxic masculinity ini?

Dalam memandang fenomena toxic masculinity, Allah SWT berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 233 sebagai berikut: “Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut…” (QS Al-Baqarah 2: 233).

Dapat disimpulkan dari ayat di atas bahwa makna pemberian nafkah oleh suami bukan hanya memberi uang melainkan juga memasak dan mencucikan pakaian untuk istrinya terlebih ketika istri sedang melahirkan dan menyusui. Secara tidak langsung perintah dalam QS Al-Baqarah ayat 233 ini menepis egoisme dari pandangan toxic masculinity.

Seorang suami sebagai laki-laki sejatinya tidak ada larangan untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga, bahkan hal itu merupakan kewajiban yang harus dilakukan untuk istrinya. Sehingga paradigma dari toxic masculinity tentang laki-laki yang mengerjakan pekerjaan rumah akan mengurangi sifat maskulinnya adalah keliru. Sebab, al-Qur’an telah secara jelas menepisnya melalui perintah kewajiban suami menafkahi istrinya di atas.

Posting Komentar

0 Komentar