Bebas Itu Limited atau Unlimited?


GHIRAHBELAJAR.COM, Oleh Laskar Badar Muhammad

Sekilas secara logika sederhana memang sepertinya hidup bebas tanpa aturan dan batasan itu menyenangkan sekali daripada hidup tertib dan terkekang oleh berbagai macam aturan.

Tapi apakah benar sesederhana itu? Mari kita bahas!

Kita buat analogi perbandingan sederhana antara dua orang mahasiswa yaitu John dan Peter. John suka gaya hidup bebas lalu Peter suka gaya hidup tertib dan teratur. Kita akan coba bandingkan bagaimana kedua mahasiswa ini dalam menjalani kehidupan sehari-hari dengan masing-masing gaya hidup yang mereka yakini. Kita ambil contoh dalam hal yang sangat sederhana yaitu menaruh kunci kontak motor. Sederhana bukan? Tapi mari coba kita analisis bersama-sama.

John alias “si paling bebas”, berdasarkan gaya hidupnya yang bebas, maka hal itu pun tercermin dalam perilakunya sehari-hari termasuk juga dalam hal menaruh kunci kontak motornya. John selalu menaruh kunci kontak motornya di sembarang tempat. Di mana ada tempat terdekat dan terjangkau oleh tangannya maka ia merasa bebas-bebas saja meletakkannya di sini ataupun di situ ataupun di mana saja. Toh itu juga kamarnya sendiri. Alhasil kunci kontak motor bisa tergeletak di mana saja dalam kamar mahasiswa yang satu ini.

Sedangkan Peter alias “si paling tertib” pun juga sama. Gaya hidup tertib dan teratur juga tercermin dari perilakunya sehari-hari. Karena ia orang yang tertib dan teratur, maka dia membuat gantungan khusus untuk menaruh kunci kontak motornya. Apapun dan bagaimanapun keadaannya, Peter selalu tertib menaruh kunci kontak motor di tempat yang telah ia sediakan. Ia mengatur hidupnya sedemikian rupa supaya kunci kontak motor harus selalu tergantung di tempatnya setelah dipakai.

Lalu suatu ketika di hari libur kuliah, hari yang semestinya dipakai bersantai-santai menikmati weekend, tiba-tiba saja ada panggilan mendadak dari kawan-kawan organisasi kampus. Panggilan mendadak itu mengharuskan kedua mahasiswa tadi untuk segera datang ke kampus dikarenakan telah terjadi situasi dan kondisi di luar yang sudah direncanakan bersama. Situasi dan kondisi yang demikian itu benar-benar sangat mendesak supaya keduanya segera datang ke kampus. Bahkan keadaan akan semakin gawat apabila dua mahasiswa tadi tidak secepatnya datang dan menyelesaikan masalah.

Lima menit setelah diberi kabar dari kawan-kawan kampus, Peter sudah sampai di kampus dan langsung nimbrung bersama yang lainnya untuk menyelesaikan masalah. Tapi nasib sungguh nasib, walaupun ia sudah menyegerakan diri untuk datang, tetap saja tidak bisa menyelesaikan permasalahan yang terjadi dikarenakan kehadirannya dianggap kurang cukup untuk menyelesaikan masalah. Waktu yang tersedia pun sangat mepet dan tidak bisa kompromi. Akhirnya rencana pun gagal total dan kegagalan itu hampir bisa dipastikan karena John tak kunjung kelihatan batang hidungnya. Padahal ini sudah lewat satu jam lebih.

Ternyata apa yang terjadi dengan John? Kita pindah dari kampus ke kamar kos John. Ternyata yang terjadi di sana adalah….. yak betul sekali! Dia masih sibuk mencari kunci kontak motornya sendiri. Ia lupa di mana terakhir kali ia menaruhnya. Dia cari di sana cari di sini, bongkar sana bongkar sini hasilnya pun nihil. Belum lagi orderan ojol juga terjebak macet di tengah perjalanan menjemput. Sedangkan jalan kaki bukanlah suatu pemecahan yang solutif.

Sungguh perkara yang awalnya tadi kita anggap cuma sekedar menaruh kunci kontak motor, ternyata bukanlah perkara yang remeh. Lihat saja akibatnya bahkan bukan hanya merugikan diri sendiri tapi orang lain juga ikutan rugi. Kita semua pasti tau penyebabnya. Tidak lain dan tidak bukan karena kebiasaan John yang terlalu bebas, semaunya sendiri, dan tidak mau repot-repot dengan yang namanya aturan.

Jika saja John membiasakan diri untuk hidup tertib dan teratur sebagaimana Peter, maka mungkin bisa lain lagi ceritanya. Merugikan banyak orang pun kemungkinan besar bisa terhindarkan.

Kasus di atas tentu saja bisa terjadi dengan setting dan latar belakang cerita yang berbeda namun dengan substansi cerita yang sama. Bisa terjadi pada hal-hal yang sifatnya sederhana dan bukan tidak mungkin terjadi pada hal-hal yang tidak sederhana dan sangat serius. Dan akhirnya kita bisa tau ternyata hidup terserah gue dan semau gue nggak semenyenangkan itu.

Dulu sering ada pertanyaan “bagaimana menerjemahkan kata bebas yang tepat? bebas tanpa batasan atau bebas dengan tetap mengetahui batasan-batasan yang ada? jika bebas itu terbatas maka itu bukan kebebasan dong?” Pertanyaan yang semi-semi paradoks, mirip dengan kasus Tuhan mengangkat batu.

Pada hakikatnya kebebasan tanpa batasan tidaklah mungkin bisa terjadi. Hal itu hanya bisa diucapkan di mulut saja sebagaimana kita bisa mengucapkan “ikan manjat pohon”. Karena kita hidup di dunia ini tidak sendirian. Ketika kita meyakini prinsip hidup yang serba bebas, maka di luar sana ada seseorang yang punya prinsip berbeda dengan kita atau bahkan ada seseorang yang punya prinsip berlawanan dengan prinsip kita. Maka hal itu secara tidak sadar menjadi pembatas prinsip kebebasan yang kita yakini. Karena orang yang prinsipnya berlawanan dengan prinsip kita, pasti dia akan anti dan akan “memerangi” sesuatu yang bertentangan dengan prinsipnya. Bukankah itu menjadi pembatas?

Lagipula ketika banyak sekelompok orang menuntut kebebasan pada dunia, sebenarnya apa sih yang mereka cari? Dengan kebebasan yang mereka gembar-gemborkan itu kira-kira merusak atau memperbaiki yang menjadi tujuan? Sekarang coba kita bayangkan jika yang selama ini mereka tuntut telah mereka dapatkan. Lalu apa setelah itu? Kosong! Yang jelas jawabannya bukan memperbaiki! Kebebasan yang terus-menerus mereka kejar itu hanya berujung pada kekosongan tanpa nilai.

Lalu kebebasan yang ideal itu seperti apa? Mungkin alangkah lebih baik jika disebut proporsional. Dengan begitu kita jadi tahu bagaimana kita harus bersikap dalam merespon sesuatu. Dan sikap itu bisa berarti apa saja termasuk sikap merasa bebas, akan tetapi bebas yang sesuai dengan porsinya. Bukankah yang seperti itu lebih indah?

Posting Komentar

0 Komentar