Idul Adha dan Pendidikan Welas Asih


GHIRAHBELAJAR.COM, Oleh Indar Cahyanto*

Idul Adha pada tahun telah dipastikan mengalami perbedaan antara Pemerintah malalui kemenag dalam siding Istbat penentuan awal bulan Dzulhijjah tahun 1443 H yang dilaksanakan pada tanggal 30 Juni 2022. Dalam hasil keputusannya sidang Istbat diputuskan 10 Dzulhijjah jatuh pada Ahad, 10 Juli 2022. Yang sebelumnya telah keluar keputusan Hasil Tarjih Muhammadiyah bahwa Idul Adha jatuh pada 9 Juli 2022.

Perbedaan itu menambah suasana nomenklatur kehidupan keagamaan di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Negara yang memiliki kekayaan khasazanah intelektual dan berfikir para penduduknya sehingga dapat membangun budaya dan etos kerja yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Khasanah kekayaan intelektual yang perlu diwariskan kepada anak cucu generasi penurus bangsa dalam membangun paradigma berfikir melalui literasi. Hasil literasi itu tergambar dalam catatan-catan narasi dalam sebuah karya berupa buku, manuscrif dan lainnya.

Ketika kita membaca atau berliterasi tentang idul adha maka yang terekam dan tergambar suatu pengorbanan anak manusia dalam wujud pengorbanan kepada Sang Khaliq Allah SWT. Gambaran literasi yang dikisahkan pengorbanan ayah dan anak yaitu Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS. Wujiud pengorbanan sang ayah Nabi Ibrahim AS atas perintah Allah SWT untuk menyembelih putranya Nabi Ismail AS. Rasa pengorbanan sikap kasih sayang dan keikhlasan terpancar dua hamba manusia yang taat kepada Ajaran Allah SWT. Serta kerelaan ibundanya Siti Hajar berani mengurbankan nyawa demi kebaktian tertinggi kepada Dzat Rabbul Izzati.

Akan tetapi, jauh sebelumnya pada masa Nabi Adam AS yaitu kisah kedua putarnya Qabil dan Habil sebagaimana dikisahkan dalam AlQur’an sebagaimana firman Allah: Bacakanlah (Nabi Muhammad) kepada mereka berita tentang dua putra Adam dengan sebenarnya. Ketika keduanya mempersembahkan kurban, kemudian diterima dari salah satunya (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Dia (Qabil) berkata, “Sungguh, aku pasti akan membunuhmu.” Dia (Habil) berkata, “Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS AlMaidah [5]: 27).

Menurut riwayat Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan lain-lain, bahwa putra Adam yang bernama Qabil mempunyai ladang pertanian dan putranya yang bernama Habil mempunyai peternakan kambing. Kedua putra Adam itu mempunyai saudara kembar perempuan. Pada waktu itu Allah mewahyukan kepada Adam agar Qabil dikawinkan dengan saudara kembarnya Habil. Dengan perkawinan itu Qabil tidak senang dan marah, saudara kembarnya lebih cantik.

Keduanya sama-sama menghendaki saudara yang cantik itu. Akhirnya Adam menyuruh Qabil dan Habil agar berkurban guna mengetahui siapa di antara mereka yang akan diterima kurbannya. Qabil berkurban dengan hasil pertaniannya dan yang diberikan bermutu rendah, sedang Habil berkurban dengan kambing pilihannya yang baik. Allah menerima kurban Habil, yang berarti bahwa Habil-lah yang dibenarkan mengawini saudara kembar Qabil. Dengan demikian bertambah keraslah kemarahan dan kedengkian Qabil sehingga ia bertekad untuk membunuh saudaranya. Tanda-tanda kurban yang diterima itu ialah kurban itu dimakan api sampai habis.197).

Kurban yang berarti dekat atau mendekatkan atau disebut juga Udhhiyah atau Dhahiyyah secara harfiah berarti hewan sembelihan. Sementara itu, ibadah kurban adalah salah satu ibadah pemeluk agama Islam, dengan melakukan penyembelihan hewan ternak untuk dipersembahkan kepada Allah. Ritual kurban dilakukan pada bulan Zulhijah pada penanggalan Islam, yakni pada tanggal 10 (Iduladha), serta 11, 12, dan 13 (hari Tasyrik).

Makna Kurban berarti seorang Hamba yang pasrah mendekatkan diri kepada Allah SWT dan beribadah meningkatkan keimanan dan ketaqwaanNya. Makna yang lain seorang Hamba yang pasrah dan patuh kepada Allah SWT untuk menyembelih segala hawa nafsunya yang membelenggu dirinya. Begitulah kata “qurban” artinya “sesuatu yang dekat atau mendekatkan”, yakni dekat dan mendekatkan diri kepada Allah, sehingga setiap yang berkurban semakin taat hidupnya kepada Allah, yang diwujudkan dengan segala ibadah dan amal shalih atas nama-Nya.

Rasa kecintaan dan kedekatan seorang Hamba kepada Sang KhalikNya diwujudkan dengan sikap pengorbanan apa yang dimilikinya. Disinilah tumbuh nilai pendidikan yang membangun empati dan simpati kepada kehidupannya sesama manusia di dunia. Kemudian menjadi insan pembaharu bagi kehidupannya dan sesamanya yang menebar kebaikan dan kasih sayang.

Dalam Al-Qur'an dikisahkan secara khusus pengorbanan utuh dari keluarga besar Nabi Ibrahim AS. Yang dikisahkan dalam surat Qs Ash-Shaaffaat: 102-107 artinya: “Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.”, Ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) meletakkan pelipis anaknya di atas gundukan (untuk melaksanakan perintah Allah), Kami memanggil dia, “Wahai Ibrahim, sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.” Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat kebaikan. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Kami menebusnya dengan seekor (hewan) sembelihan yang besar”

Menundukkan rasa pandangan untuk taat kapada Allah dan menjalankan kewajibannya sebagai seorang Hamba yang berimana dan bertaqwa kepada Allah SWT. Rasa ketaqwaan yang dimiliki oleh keluarga Ibrahim AS merupakan suatu frase dimana kesalehan dan keyakinan itu dibangun atas dasar cinta dan kesungguhan hati serta saling kasih sayang. Pondasi yang kokoh merupakan cerminan nilai-nilai Tauhid yaitu manisfestasi keesaan Allah SWT dalam segala gerak kehidupan keluarga Nabi Ibrahim AS.

Berawal dari sebuah mimpi Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya Ismail. Mimpi yang menjadi poin sikap terbangunnya nilai-nilai tauhid kepada Allah yang dimunculkan. Kemudian tergambar ada dialog antara orangtua dan anak yang menggambarkan sikap rendah hati dari seorang ayah kepada putranya untuk berkomunikasi atas dasar rasa sayang dan cinta kasih. Hal itu menjadi insan yang shalih, zuhud, dan berjiwa muraqabah atau merasa selalu diawasi Allah. Jiwa yang shalih dan zuhud digambarkan oleh keluarga Ibrahim AS dan menjadi pembelajaran buat kita umat Nabi Muhammad SAW.

Pada suatu hadits disebutkan bahwa Zaid Ibn Arqam, ia berkata atau mereka berkata: “Wahai Rasulullah saw, apakah kurban itu?” Rasulullah menjawab: “Kurban adalah sunahnya bapak kalian, Nabi Ibrahim.” Mereka bertanya: “Apa keutamaan yang kami akan peroleh dengan kurban itu?” Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai rambutnya adalah satu kebaikan.” Mereka bertanya lagi: “Kalau bulu-bulunya?” Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai bulunya juga satu kebaikan.” (HR Ahmad dan Ibn Majah).

Pendidikan Welas Asih


Merujuk dari sikap keluarga Nabi Ibrahim yang menunjukkan seuatu pola pendidikan welas asih kepada keluarganya dan sikap zuhud kepada Allah SWT. Perlu ditiru dalam sikap kehidupan sehari-harin khususnya dalam pergaulan di masyarakat serta pergaulan di dalam kelas atau sekolah merefleksikan pola perilaku welas asih terhadap sesama. Proses pendidikan welas asih akan terpancar sikap kepedulian dan terbangunnya rasa kolektivitas kebersamaan dalam merawat kemajemukan.

Pendidikan welas asih merupakan proses pendidikan dimana tertanamnya rasa kasih sayang kepada sesama dan saling memahami dalam bergaul dan berinteraksi. Terbangunnya proses komunikasi yang baik diserta dengan sikap keihklasasn dari Nabi Ibrahim dalam baktinya kepada Allah dapat menundukkan keyakinan dan bakti seorang anak kepada Bapaknya. Serta ridho dari sang Ibunda Siti Hajar dalam melepas anaknya untuk disembelih sebagai rasa cinta dan bakti kepada Allah SWT.

Peran orangtua dalam menanamkan pendidikan welas asih kepada putra-putrinya pertama kali dirumah menjadi hal yang pokok dan utama sebelum mengenal lingkungan lebih lanjut. Orangtua menjadi contoh pembelajaran kehidupan yang sejatinya dapat merangsang anak untuk dapat tumbuh menjadi pribadi yang baik. Pengajaran yang pertama dan utama berawal dari rumah dimana gurunya adalah orangtua itu sendiri. Di rumah anak dirangsang pola pikirnya untuk terbiasa belajar berkasih sayang dan saling menghargai.Di rumah pola deferensiasi pendidikan dibedakan antara lelaki dan perempuan yang sesuai dengan kodratnya.

Ketika di sekolah tinggal melanjutkan apa yang sudah diajarkan dari rumah oleh orangtua. Disekolah diberikan pengutan konsep pengetahuan dan metoda kelimuan yang belum didapatkan dari rumah. Menurut Ki Hajar Dewantara berbicara mengenai sekolah yang dinamakan dirinya “perguruan” berasal dari perkataan “guru” arti harfiah dari perguruan adalah tempat dimana guru itu tinggal. Kata yang lain dapat diambil kata berguru yang artinya belajar dapat juga dilekatkan pusat study. Bisa dikatakan juga sekolah itu harus menjadi rumahnya guru. Menurut namanya muridlah yang mendatangi gurunya, bukan guru yang pergi kepada muridnya. Seperti ada perkataan “sumur lumaku tinimba” artinya sumber berjalan tempat mengambil air. Dalam seluruh perguruan meliputi semangatnya. (Ki HajAR Dewantara, 1997;56-57).

Sekolah menjadi tanam pendidikan karakter dan tumbuhnya budi pekerti dimana didalamnya terdapat keselarasan dan kehormanisan. Terciptanya rasa kasih sayang sesame warga sekolah mulai dari kepala sekolag, guru, tenaga kependidikan, peserta didik dapat membangun kepercayaan dan kolaborasi serta kolektivitas. Hubungan antara sesama warga sekolah bukan sebatas profesioanalitas saja tapi menunjukkan sikap kehumanisan.

Menurut Ardan Sirodjuddin Sekolah harus mengubah sistem pendidikan yang masih berorientasi pada ta’lim (mengajarkan) menjadi ta’dib (penanaman adab). Dalam konsep compassionate school, ta’dib harus diterapkan secara menyeluruh meliputi tiga area, pertama Sumber Daya Manusia yaitu guru, karyawan, orang tua, hingga satpam, kedua kurikulum, dan yang ketiga iklim atau hidden curricullum. Membangun compassionate school atau sekolah welas asih. Sebuah sekolah bukanlah pabrik yang melahirkan siswa-siswa pintar, tetapi sebuah lingkungan yang membuat semua unsur di dalamnya menjadi lebih beradab. Sekolah adalah ladang untuk menanam benih karakter luhur: nilai-nilai keberadaban yang melandasi pola hubungan antara individu di sekolah. Dan individu itu adalah siswa, guru, staf tata usaha, satpam, petugas kebersihan, yang batin martabatnya sama, yakni manusia.

Menurut Din Wahyudun dalam merajut peradaban bangsa melalui metode asah, asih, asuh adalah esensi universal pembelajaran bermakna. Konsep pembelajaran yang bersendikan welas asih dengan dilandasi oleh semangat profesionalism, care and dedication based on love. Tiga aspek ini sangat universal dan membumi. Kata asah atau memahirkan yaitu memberi makna bahwa dialog pembelajaran yang dibangun guru beserta peserta didik patut dilandasi atas hal yang esensial, substantif dan perlu, guna mengusung aspek perolehan pengalaman belajar yang bermakna. Meaningful learning experience.

Kata asih atau kasih sayang yaitu mengedepankan dialog pedagogis yang dibangun guru kepada peserta didik yang dilandasi atas dasar profesionalisme dan cinta kasih. Kasih sayang sepenuh hati dalam merawat peserta didik inilah sering disebut nurturing love. Kondisi ini lah yang tak boleh diabaikan. Kata asuh atau membimbing lebih dimaknai bahwa kegiatan pembelajaran lebih bercirikan pada aspek bimbingan. Guru berperan sebagai fasilitator yang membimbing peserta didik ke arah yang lebih baik.

Ta’awun dan Ta’aruf


Idul adha merupakan momentum tergalinya pendidikan welas asih kepada sesama manusia. Serta menumbuhkan semangat pendidikan kebaikan kepada sesama manusia. Seperti yang tergambar dalam Al Quran yang Artinya “Dan tolongmenolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksa-Nya.” (QS Al-Maidah: 2).

Sikap Ta’awun atau tolong menolong dalam kebaikan perlu ditingkatkan dalam proses pembelajaran kehidupan. Sekolah menjadi tempat sarana penanam karakter kebaikan salah satunya dengan mengaktualisasikan ajaran Nabi Ibrahim melalui penyembelihin hewan qurban. Keadaban disekolah perlu contoh, perlu bimbingan dari guru kepada peserta didik, istilah Ki Hajar Dewantara perlu dibangun sistem pendidikan yang dinamakan dengan system Among.

Pada prinsipnya proses pembiasaan kepada nilai-nilai karakter kepada peserta didik diwujudkan dengan sikap amaliah perbuatan nyata. Ketika peserta didik telah dibekali dengan kajian teori maka perlu dibekali dan dipraktekkan pola pendekatan praktek. Sehingga peserta didik memiliki bekal pengetahuan yang seimbang dalam memengaruhi kecerdasan akalnya. Seperti dalam kurikulum merdeka ada project penguatan profil pelajar Pancasila.

Jiwa ta’awun perlu ditanamkan kepada peserta didik pasca Idul Adha atau kepada masyarakat luas yang memancarkan sifat kebaikan dan gotong royong serta kepedulian terhadap sesama. Jiwa-jiwa yang dilandasi dengan sikap yang menempatkan sisi kemanusian itu lebih unggul dan tinggi dalam bermasyarakat. Dalam salah satu hadis Nabi bersabda yang artinya, “Tidak halal bagi seorang Muslim untuk memboikot saudaranya lebih dari tiga hari. Mereka berdua bertemu namun yang satu berpaling dan yang lainnya juga berpaling. Dan yang terbaik di antara mereka berdua yaitu yang memulai dengan memberi salam.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Pendidikan dalam konsep pembelajaran Idul Adha mencerminkan sikap ta’aruf yaitu saling kenal mengenal sesama anak cucu Nabi Adam. Dalam membangun ta’aruf dilandasi dengan sikap ta’awun rasa kasih sayang kepada sesama. Dalam surat Al Hujarat dijelaskan ayat 13 yang artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetaui lagi Mahateliti.”

Dalam hadis Nabi Muhammad SAW diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan at-Tirmizi dari Ibnu mar bahwa ia berkata: Rasulullah saw melakukan tawaf di atas untanya yang telinganya tidak sempurna (terputus sebagian) pada hari Fatth Makkah (Pembebasan Mekah). Lalu beliau menyentuh tiang Kabah dengan tongkat yang bengkok ujungnya. Beliau tidak mendapatkan tempat untuk menderumkan untanya di masjid sehingga unta itu dibawa keluar menuju lembah lalu menderumkannya di sana.

Kemudian Rasulullah memuji Allah dan mengagungkan-Nya, kemudian berkata, “Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah menghilangkan pada kalian kesombongan dan keangkuhan Jahiliah. Wahai manusia, sesungguhnya manusia itu ada dua macam: orang yang berbuat kebajikan, bertakwa, dan mulia di sisi Tuhannya. Dan orang yang durhaka, celaka, dan hina di sisi Tuhannya. Kemudian Rasulullah membaca ayat: yaa ayyuhan nas inna khalaqnakum min zakarin wa untsa. Beliau membaca sampai akhir ayat, lalu berkata, “Inilah yang aku katakan, dan aku memohon ampun kepada Allah untukku dan untuk kalian. (Riwayat Ibnu Hibban dan at-Tirmizi dari Ibnu Umar).

Kesimpulan


Pendidikan merupakan salah satu cara untuk memberikan pencerahan kepada manusia pada umumya dan peserta didik pada khususnya. Pendidikan yang di dalamnya terdapat pola pengajaran pengetahuan dan sikap dalam mencerahkan dan menggerakkan setiap potensi yang ada dalam diri peserta didik. Proses pendidikan ada tahap sosialisasi pengenalan perilaku yang dapat diajarkan dan diikuti. Idul Adha bukan hanya perayaan hari besar, tapi ada proses pendidikan karakter di dalamnya.

Guru yang baik yang dapat mengajarkan dan membuka jendela pengetahuan kepada peserta didik dengan cara yang baik. Membangun keadaban dalam dunia yang serba maju dan modern ada ditangan guru yang dapat menggerakkan potensi peserta didik secara maksimal. Mengajarkan dan menanamkan adab perlu dikolaborasikan dengan aksi amaliah dari seluruh komponen sekolah.

*Penulis merupakan seorang guru Sejarah DI SMAN 25 Jakarta, pengurus MGMP Sejarah DKI Jakarta, pengurus APKS PGRI Provinsi DKI Jakarta, mantan aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, dan anggota Pimpinan Cabang Muhammadiyah Ciracas.

Posting Komentar

0 Komentar