Sesat Pikir Memahami ‘InsyaAllah’


 

GHIRAHBELAJAR.COM, Oleh M. Sulhan., S.Pd., Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga

Perbedaan antara massyarakat maju dan tradisional menurut antropolog terletak pada pengondisian yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Massyarakat tradisional memiliki karakteristik dalam menetapkan sesuatu secara kualitatif dalam bentuk keterangan yang bersifat deskriptif, sementara massyarakat maju menetapkan sesuatu secara kuantitatif dengan perhitungan angka, waktu dan jam yang penuh kepastian. Sebagai contoh, ketika diajukan pertanyaan, “Kapan kita bisa adakan pertemuan?” Massyarakat tradisional akan menjawab “Sebentar, besok, atau dalam jangka waktu dekat ini” tanpa kepastian”. Sementara massyarakat modern akan menjawab secara kuantitatif, “Hari ini, jam sekian, tanggal sekian” dengan kepastian yang bersifat sistematis. Hal ini, bisa saja dibenarkan dalam satu sisi. Akan tetapi, mengalami kesenjangan disisi yang lain. Permasalahan yang hadir bisa saja dapat diterima dalam keadaan tertentu dan ditolak dalam keadaan tertentu.lalu apa solusinya?

Fenomena ini telah disorot secara parsial dan khusus sejak kehadiran Islam di tengah-tengah massyarakat, dari masyarakat tradisional sampai masyarakat maju, ajaran Islam mampu merespon segala keadaan, fenomena dan perubahan zaman. Kehadiran Islam dari 14 abad menjadi bentuk yang otentik kemurniannya sebagai agama samawi, nilai ajarannya sesuai dan tidak mengalami kontradiksi di tengah-tengah masyarakat. gejala yang berkaitan dengan fenomena di atas, bahkan telah termuat secara rinci dan tegas dalam Al-Qur’an sebagai sebuah solusi muamalah.

Dalam Islam, ada salah satu metode yang sangat relevan, untuk menjawab sebuah pertanyaan “Kapan kita bisa adakan pertemuan?”. Dalam konteks Islam untuk menjawab pertanyaan yang demikian adalah dengan mendahuluinya dengan kalimat “InsyaAllah”. Sebelum membahas lebih jauh mari kita renungi bersama asbaban nuzul kata InsyaAllah dalam Islam.

Allah Robbul izzati berfirman:

وَلَا تَقُولَنَّ لِشَاْيۡءٍ إِنِّي فَاعِلٞ ذَٰلِكَ غَدًا ٢٣

إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُۚ وَٱذۡكُر رَّبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلۡ عَسَىٰٓ أَن يَهۡدِيَنِ رَبِّي لِأَقۡرَبَ مِنۡ هَٰذَا رَشَدٗا ٢٤

Artinya: “Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi. kecuali (dengan menyebut) ‘Insya Allah’. Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini." (QS Al-Kahfi Ayat 23-24).

Ayat ini diturunkan bekenaan dengan kisah yang berkaitan dengan pribadi Rasulullah Saw. Bahwasanya pada suatu waktu, kaum Quraisy mengutus an-Nadlr bin al-Harts dan Uqbah bin Abi Mu'ith ke Yastrib (Madinah) untuk berkonsultasi dengan para rabi Yahudi. "Tanyakan kepada mereka tentang Muhammad," kata mereka kepada dua utusan itu, "Gambarkan siapa dia, dan ceritakan apa yang dikatakannya; karena mereka adalah para Ahli Kitab pertama dan mengetahui perihal nabi yang tidak kita ketahui." Para rabi Yahudi itu menjawab, "Tanyakan kepadanya tentang tiga hal! Setelah itu, kami akan memberikan informasi kepada kalian. Jika ia menceritakan kepada kalian tentang ketiga hal itu, maka ia memang seorang nabi yang diutus Tuhan. Namun, jika tidak, maka ia pendusta.

Tanyakan kepadanya kisah sekelompok pemuda yang meninggalkan kaum mereka pada zaman dahulu, dan bagaimana kejadian yang menimpa mereka. Sebab, kisah mereka adalah sebuah kisah yang mengagumkan. Tanyakan pula, berita-berita mengenai petualang yang sampai pada ujung bumi di timur dan di barat.

Lalu tanyakanlah tentang roh, apa itu roh? Jika ia menceritakan kepada kalian ketiga hal itu, maka ikutilah ia, karena ia seorang nabi. Ketika para utusan itu kembali ke Mekah dengan membawa kabar itu, para pemimpin Quraisy datang kepada Nabi dan menanyakan tiga pertanyaan tersebut.

Beliau berkata, "Esok akan kujelaskan kepada kalian," namun beliau tidak mengucapkan "insya Allah". Ketika mereka datang menuntut jawaban, beliau tak dapat menjawabnya. Begitulah hari demi hari berlalu, hingga lima belas malam, beliau masih belum mendapatkan wahyu. Jibril juga tidak pernah datang sejak mereka mengajukan pertanyaan kepada beliau.

Masyarakat Mekah mengejek dan menentangnya. Beliau pun gusar dan sangat sedih dengan apa yang mereka ucapkan karena beliau belum menerima bantuan yang diharapkan. Lalu Jibril membawakan sebuah wahyu yang mengingatkan Nabi yang sedih karena apa yang dikatakan kaumnya, dan memberinya jawaban atas tiga pertanyaan mereka. Penantian panjang yang beliau alami dijelaskan dalam kalimat: "Dan jangan kamu sekali-kali mengatakan terhadap sesuatu, 'Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi, kecuali mengucapkan Insya Allah." (QS al-Kahfi: 23-24).

Ibnu Jarir Ath-Thabari menafsirkan ayat dalam kitab jami’ul Bayan, beliau menjelaskan: bahwasanya ayat tersebut merupakan pengajaran Allah yang ditunjukkan kepada rasulullah saw, agar tidak memastikan suatu hal atau perkara akan terjadi tanpa kendala apapun, kecuali dengan mengaitkannya dengan kehendak Allah SWT.

Ada empat makna yang esensial dalam kata InsyaAllah, yang pertama, menunjukkan bahwa manusia memiliki ketergantungan atau rencana dan ketetatapan Allah, kedua, untuk menghindari sebuah kesombongan, ketiga tanda ketawudhu’an (keterbatasan diri) dalam pandangan Allah dan Makhlunya, keempat, optimisme.

Ada konsekuensi yang harus ditanggung seseorang ketika kata insyaAllah dijadikan sebagai sebuah perlindungan agar terlepas dari janji dan tanggung jawab dengan sesama manusia, ia akan menanggung dosa yang diakibatkan karena, berbohong atas nama Allah dan ingkar akan janjinya

Hari ini pergeseran makna insyaAllah, sering kita jumpai di tengah-tengah masyarakat, kata “InsyAllah” justru digunakan untuk menyatakan keengganan, ketidaksiapan, ketidaksanggupan, dan ketidakrelaan, bahkan kata InsyaAllah digunakan sebagai kata ganti “tidak atau menolak”. Sedangkan makna InsyaAllah yang sebenarnya adalah kesiapan 99 persen untuk memenuhi dan melakukan sesuatu dengan menyerahkan kepastiannya kepada kehendak Allah Swt.

Kesalahan dalam memaknai makna InsyaAllah terindikasi oleh teori fallacy. Teori fallacy berkaitan dengan kesalahan atau kesesatan dalam berpikir secara logika yang mengesampingkan dasar-dasar pemikiran dan makna aslinya, hal ini yang menyebabkan kesalahan dalam memakai dan memberikan kesimpulan terhadap suatu makna dari suatu kata atau kalimat. Sehingga perlunya pemikiran yang dikontruksikan dari makna dasar dari suatu kata atau kalimat secara terstruktur dan berdasar.

Posting Komentar

0 Komentar