Struktur Psikis dan Motivasi Manusia dalam Perspektif Nafsiologi


GHIRAHBELAJAR.COM, Oleh Siti Nuroh, Mahasiswa Pascasarjana Psikologi Pendidikan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Struktur manusia pada umumnya terdiri atas jiwa dan raga. Namun, tahukah kamu, dalam kajian psikologi dijelaskan lebih perinci tentang struktur manusia dengan menggunakan berbagai perspektif. Sigmund Freud dengan psikoanalisisnya membagi kepribadian manusia menjadi tiga sistem atau aspek, yakni (1) id, yitu aspek biologi yang menganut prinsip kesenangan; (2) ego, yakni aspek psikologis yang menganut prinsip realitas, dan (3) super ego, yakni aspek sosiologis sebagai aspek moral kepribadian.

Teori behaviorisme menjelaskan struktur kepribadian manusia dalam empat aspek: (1) kognisi, (2) afeksi, (3) konasi, dan (4) psikomotorik. Lebih lanjut, psikologi humanistik yang dipelopori oleh Abraham Maslow menyatakan bahwa dimensi manusia meliputi dimensi fisik (somatik), dimensi psikologis (psikis), dan dimensi niskala (dimensi spiritual). Menurut Viktor Frankl, dimensi spiritual di sini tidak mengandung konotasi keagamaan, melainkan dimensi inti. kemanusiaan yang merupakan sumber makna hidup, potensi berbagai kemampuan dan kualitas manusia yang luar biasa.

Selama ini, psikologi kontemporer umumnya hanya mengenal tubuh (organo-biologi), jiwa (psiko-pendidikan), dan lingkungan sosial budaya (sosio-kultural) sebagai penentu utama perilaku dan kepribadian manusia. Dengan demikian, ruang lingkup psikologi secara luas adalah psiko-biologis, psiko-eksistensial dan psiko-sosial dengan berbagai variasinya.

Bagaimana Pandangan Islam?


Dalam Islam, selain ketiga dimensi di atas, juga mengakui adanya ruh Allah yang diembuskan ke dalam diri manusia (Surah al-Hijr (15), 29; al-Araaf (7), 172). Ruh ini adalah ruh yang teramati bersifat halus dan agung yang dianugerahkan oleh al-Rahman al-Rahim kepada manusia semata-mata, dengan tujuan agar manusia memiliki hubungan spiritual dengan pemilik ruh yaitu Allah SWT.

Inilah yang perlu dirumuskan dalam psikologi dan nafsiologi Islam, yaitu memasukkan dimensi ketuhanan dalam kepribadian manusia. Sehingga dalam pandangan psikologi dan nafsiologi Islam terdapat empat dimensi yang terintegrasi dalam kehidupan manusia, yaitu: dimensi fisik (jasmani), dimensi psikis (psikis), dimensi spiritual (spiritual), dan dimensi lingkungan (sosial budaya).

Memahami Nafsiologi


Selanjutnya mengenai manusia muslim juga memiliki pandangan yang berbeda berdasarkan ungkapan Al-Qur'an terkait dengan kata an-nafs. Berdasarkan kajian perilaku atau gerakan nafsaniahnya, terbagi menjadi tiga kajian nafsiologis, yaitu aktualitas nafsaniyah (perilaku terang-terangan/terlihat), Nafsaniyah potensial (perilaku murtad/perbuatan imanen yang dirahasiakan), dan Nafsu Syahwaniyyah (perilaku/keinginan yang antusias). untuk mendapatkan kepuasan).

Semua gerakan nafsaniah memiliki perintah yang berasal dari pusat gravitasi nafsana yang terletak di hati, dan mengendalikan semua fakultas nafsana. Oleh karena itu, dalam Al-Qur'an, hati menjadi titik sentral pembangunan. Qalb yang dimaksud disini adalah dalam arti nafsiologis bukan biologis (hati) dalam arti organ.

Qalb nafsiologis memiliki ruang gerak di dada sebagai stasiun pusat untuk menerima sinyal transendental, sedangkan qalb hati atau biologis terletak di rongga dada. Beberapa ayat Al-Qur'an yang menyebutkan qalb dalam pengertian nafsiologis antara lain: QS At-Taghabun (64), 11: hati yang terbimbing; QS ar-Radu (13), 28: hati yang suci; QS Muhammad (47), 24: hati terkunci; dan lain-lain.

Al-qalb yang berasal dari kata qallaba (maju mundur/labil) tidak stabil, sehingga gejolak nafsaniah menjadi tidak stabil. Di dalam hati juga terdapat fuad, yaitu hati nurani yang kesadarannya lebih dalam dan lebih tajam dari hati (Surat 25:32 dan 53:11). Al-qalb dan fuad sebagai pusat gravitasi jiwa merupakan inti kajian nafsiologi.

Struktur manusia dalam nafsiologi dipahami sebagai totalitas nafsio-fisik, sehingga dalam perkembangannya nafsil-insaniyah tidak pernah muncul sebagai nafs tanpa fisik atau fisik tanpa nafs. Aktivitas nafs tanpa fisik adalah imajinasi, sedangkan aktivitas fisik tanpa nafs adalah robot atau mesin. Hanya kematian yang dapat memisahkan nafs dan fisik. Sedangkan manusia dalam mengolah dirinya memiliki tiga atribut utama yang saling berkaitan, yaitu kesadaran diri, kehendak bebas (selera), dan kreativitas. Dan dalam kreativitas itulah manusia akan mewujudkan motivasi utamanya.

Motivasi dalam Nafsiologi


Kajian tentang motivasi utama perilaku manusia dalam nafsiologi, menurut garis besar al-Qur'an, menitikberatkan pada keinginan untuk menjalani kehidupan yang bermakna. Teori ini sangat berbeda dengan model keinginan untuk hidup bahagia menurut Freud, dan model keinginan untuk hidup dari Alfred. Walaupun sepintas hampir sama dengan keinginan untuk hidup bermakna dalam psikologi humanistik, namun sangat berbeda, karena dalam nafsiologi berlandaskan pada keimanan dan nilai-nilai agama.

Motivasi untuk hidup bermakna dalam nafsiologi didasarkan pada motivasi iman, yaitu “keyakinan kepada Tuhan sebagai pedoman hidup dan analisis untuk mengenal diri sendiri dan kebesaran Tuhan dengan benar dan motivasi tauhid, yaitu membentuk diri secara sadar melalui ibadah yang diajarkan agama sebagai mekanisme pertahanan dan perlindungan diri.

Struktur manusia dalam kajian nafsiologi di atas sesuai dengan kepribadian manusia dalam perspektif psikologi Islam dimana oleh Hanna Djumhana Bastaman, yang menambahkan dimensi ruh pada kepribadian manusia, Bastaman lebih jauh memasukkan dimensi ruh dalam kombinasi manusia. struktur antara tiga sekolah besar psikologi: psikoanalisis, perilaku dan psikologi humanistik.

Dalam rumusan Bastaman tentang ruh pada posisi keempat dalam teori analisis horizontalnya sebagai Kesadaran Supra (di atas pikiran sadar), dan posisi keempat dalam lingkaran konsentris humanistik, dimensi ruh ditempatkan setelah noetic, yang kemudian digabungkan dengan teori segiempat berlapis perilaku vertikalnya.

Struktur kepribadian sangat sederhana jika dibanding dengan pembagian jiwa yang disusun oleh Ibnu Sina, yang juga terlihat sama dengan susunan jiwa menurut Aristoteles dan Alfarabi. Mengapa dalam membangun psikologi Islam tidak didasarkan pada struktur kepribadian manusia Muslim, padahal penataannya diprakarsai oleh tokoh-tokoh Muslim yang mapan.

Posting Komentar

0 Komentar