Keluar dari Zona Nyaman, Antara Nasihat dan Bumerang



GHIRAHBELAJAR.COM - Oleh Laskar Badar Muhammad

Tempo hari saya sedang chattingan dengan kawan dekat saya. Kami terbilang sudah cukup lama tidak bertemu sebab kesibukan kami masing-masing. Meskipun jarak kami yang berjauhan, syukurnya komunikasi kami tetap terjalin dengan baik berkat adanya WA. Banyak hal yang kami obrolkan salah satunya yaitu kami saling menanyakan kemajuan hidup masing-masing. Hal yang sangat lumrah terjadi ketika sedang berkomunikasi dengan kawan seperjuangan yang kini telah terpisah.

Namun, ketika giliran kawan saya ini kepoin tentang bagaimana kehidupan saya sekarang, ada satu pernyataan dia yang mengganjal dalam hati saya. Sebab respons dia atas jawaban saya adalah “yaa bertahanlah dengan zona nyamanmu itu, Kar, hahaha (emot ketawa).” Saya sendiri berharap semoga perasaan mengganjal itu bukan karena saya yang baperan. Maka dari itu, saya mau membahasnya lewat tulisan sederhana ini mengenai tanggapan saya atas kejadian di atas. Supaya label baperan setidaknya agak berkurang sedikit dalam diri saya atau mungkin bisa disebut baperan yang intelek, hahaha (emot ketawa).

Lewat kejadian itu sambil masih diliputi perasaan yang sekarang berubah menjadi jengkel, saya jadi bertanya-tanya memangnya indikator seseorang berada di zona nyaman atau tidak nyaman itu seperti apa sih? Lantas alat ukur yang pas untuk bisa menilai orang lain itu terbuai oleh zona nyaman itu apa sih? Sebenarnya zona nyaman sendiri itu apa sih? Apakah cukup dengan mengetahui profesi seseorang lalu kita bisa mendeteksi orang itu berada di zona nyaman atau tidak?

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang kemudian membuat saya bergairah untuk mencari tahu informasi tentang zona nyaman lewat artikel-artikel yang saya baca di google. Setelah saya baca beberapa artikel, ternyata pemahaman saya selama ini tentang zona nyaman tidak jauh berbeda. Saya sepakat-sepakat saja dengan beberapa artikel yang saya baca. Bahkan, mungkin mendengar kata “zona nyaman” saja kita sudah bisa memahaminya tanpa harus bertanya ke orang yang ahli. Iya toh?

Jangan-jangan benar omongan kawan saya tadi bahwa saya sedang berada di zona nyaman? Jika benar, kenapa saya musti tersinggung ya? Maka, setelah saya berpikir lebih dalam lagi mungkin memang ada benarnya juga perkataan kawan saya tadi tentang kehidupan saya saat ini. Namun, alangkah lebih baik lagi jika percakapan kami itu jangan melulu berakhir pada kesimpulan menilai kualitas kesibukan sesorang yang berbeda dengan kesibukan kita. Dalam kasus ini menilai soal zona nyaman yang hanya berdasarkan kesibukan yang sedang dijalani oleh seseorang.

Saya sangat memahami betul alasan kawan saya itu berkesimpulan demikian, tetapi jika hal itu hanya didasari dengan secuil informasi yang dia dapatkan dari chattingan kami di WA yang sangat terbatas, maka itu bisa menjadi sesuatu hal yang kurang baik, bahkan ektsremnya bisa menyinggung perasaan orang lain. Sebab, menurut saya jika yang terjadi demikian itu justru akan mereduksi makna dari “keluar dari zona nyaman” itu sendiri.

Mengingatkan seseorang untuk keluar dari zona nyaman yang melenakan itu perilaku yang bagus. Namun, ternyata itu bisa menjadi sesuatu hal yang menyakitkan manakala orang yang mengingatkan kita itu tidak tahu menahu soal apa yang sedang kita kerjakan sekarang. Seolah-olah sebekerja kerasnya kita saat ini akan selalu dinilai zona nyaman oleh seseorang yang merasa bahwa “keluar dari zona nyaman itu seperti aku ini loh.” Misalnya begini, si A bekerja sebagai guru di tanah kelahirannya sedangkan si B juga bekerja sebagai guru tapi di tanah rantau nun jauh di negeri orang sana. Lantas si B merasa bahwa dia lebih baik kualitas pekerjaannya daripada si A karena di tanah rantau menurutnya adalah cara terbaik untuk keluar dari zona nyaman.

Maka, sangat disayangkan sekali jika nasihat seagung “keluar dari zona nyaman”, tetapi keluar dari sesorang yang tak hanya naif tapi juga picik. Lagipula mau sampai kapan kita ini memandang sebuah konsep tapi selalu berhenti pada tataran kulitnya saja. Tidak mau menyentuh ke bagian yang lebih substantif dan kualitatif? Masa iya, menilai zona nyaman hanya sebatas jauh dan tidaknya tempat bekerja sesorang itu dengan rumahnya atau orang tuanya?

Pada dasarnya di era sekarang ini di mana kebanyakan manusia banyak menampilkan kepalsuan dalam laman-laman akun media sosialnya, kita tidak benar-benar tahu apa yang sebenarnya terjadi sebatas dalam pengamatan kita pada status-status atau postingan seseorang. Yang terjadi hanyalah dugaaan atau asumsi berdasarkan apa yang kita lihat di akun sosmednya. Dugaan dan asumsi tersebut belum bisa dijamin kebenarannya sebelum kita mengkonfirmasinya secara langsung. Dengan cara bertanya atau dialog secara langsung pada yang bersangkutan. Tentu saja didasari dengan niat yang baik. Bukan untuk membanding-bandingkan atau gagah-gagahan atau bahkan memvonis. Itulah pentingnya konsep tabayun atau dalam bahasa kerennya check and recheck.

Terakhir adalah budaya vonis atau menilai. Jika interaksi yang terjadi adalah antara orang yang lebih rendah dan orang yang lebih tinggi, vonis dan menilai menjadi suatu hal yang normal-normal saja. Misalnya antara orang awam dengan orang yang lebih pintar atau orang yang masih muda kepada orang yang lebih tua atau pemula dengan orang yang sudah berpengalaman.

Namun, jika interaksi terjadi pada komunitas yang anggotanya secara antropologis relatif sama, maka itu menjadi hal yang tidak wajar, terlebih lagi dalam adat ketimuran. Pepatah Jawa mengatakan “sapa sira sapa ingsun”. Alangkah lebih baik jika kita memosisikan diri sederajat dengan lawan bicara kita. Otomatis percakapan yang terjadi terhindar dari suasana menggurui dan lebih bersifat sharing yang nantinya bermuara pada saran atau masukan.

Saya berhusnuzon, kawan saya melakukan hal itu tidak lain dan tidak bukan semata-mata untuk memotivasi saya supaya “ayo kita lebih kerja keras lagi, kita pasti bisa membuktikan pada orang-orang yang pernah meyepelekan kita bahwa kita juga berhak sukses.” Untuk itu, saya ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada kawan saya itu. Berkat kawan saya itu saya benar-benar termotivasi, minimal termotivasi untuk kembali menulis, hahaha (emot ketawa).

Wallahu a’lam bishawaab.




Posting Komentar

0 Komentar