Timang-Timang Ramadhanku Sayang


GHIRAHBELAJAR.COM - Oleh: Laskar Badar Muhammad

Di malam saya menulis tulisan ini, terhitung sepuluh hari lagi menuju bulan Ramadhan. Maka, bisa dibayangkan vibe yang terjadi saat ini khusunya di kalangan muslimin yang ada di negeri ini. Saya sendiri sebagai muslim bahkan sejak h-sebulan sudah mulai merasakan vibe yang mengindikasikan waktu telah semakin dekat dengan bulan Ramadhan, bulan yang katanya paling ditunggu-tunggu oleh muslimin. Di antaranya yang paling umum adalah kehadiran iklan sirup yang menghiasi layar televisi di rumah kita.

Saya menduga bahwa kehadiran iklan tersebut pasti sudah disetting sedemikian rupa memang untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan. Sampai-sampai para pemirsa sudah yakin 100 persen bahwa kehadiran iklan tersebut merupakan pertanda bulan Ramadhan sudah dekat. Lebih spesifiknya lagi bahkan saya telah mengamati episode pertama dari iklan tersebut pasti akan muncul di 30 hari menjelang Ramadhan. Yang kemudian disusul dengan episode-episode selanjutnya sampai akhirnya selesai di pertengahan bulan Ramadhan. 

Maka, bisa dikatakan bahwa iklan sirup tersebut menjadi pembuka bagi produk-produk yang lainnya untuk melakukan hal yang sama. Bahkan lebih luasnya bukan hanya produk-produk makanan saja, akan tetapi produk apapun itu yang bersifat konsumtif bagi masyarakat.

Seperti misalnya banyak mall-mall yang kemudian meluncurkan diskon besar-besaran dalam rangka menyambut bulan Ramadhan dan ujungnya nanti sampai ke Idul Fitri. Juga misalnya program-program tayangan di layar kaca kita yang menghadirkan acara-acara religi dalam rangka memeriahkan jalannya bulan Ramadhan. Tidak ketinggalan juga para konten-konten kreator yang membuat konten bertemakan religi yang juga pastinya dalam rangka memeriahkan bulan Ramadhan. 

Pendek kata, hampir bisa dipastikan setiap sendi kehidupan manusia di 30 hari menjelang Ramadhan hingga berakhir di tanggal satu Syawal, vibe-nya jadi serba Islami. Yang demikian itu seperti sudah menjadi sunnatullah yang rutin terjadi setiap tahunnya.

Namun, sadarkah kita jika vibes serba Islami menjelang Ramadhan yang asyik kita nikmati di atas perlahan, pasti membentuk cara pandang, pola pikir, dan alam bawah sadar kita terhadap Ramadhan? Tapi sayangnya cara pandang, pola pokir, dan alam bawah sadar yang terbentuk bisa dibilang jauh dari pola hidup Islami. Sederhananya, vibes serba Islami tersebut justru secara perlahan menuntun kita untuk berperilaku tidak islami dalam menyambut maupun memaknai bulan Ramadhan.

Bagaimana tidak? Coba sekarang kita lihat betapa kemeriahan serta gegap gempita Ramadhan yang mereka songsong itu kemudian menggeser esensi Ramadhan yang sesungguhnya di dalam alam bawah sadar kita. Dengan atau tanpa disadari, yang terjadi selanjutnya adalah umat muslim latah dengan hal tersebut yang pada akhirnya pemahaman tentang bulan Ramadhan bergeser pada seremonial dan rutinitas belaka. Padahal, Ramadhan sama sekali bukan kegiatan seremonial atau sekadar rutinitas saja.

Dalam pada itu, kelatahan tersebut pun tak terelakkan juga terjadi di masjid-masjid sekitar rumah kita. Songsong Ramadhan di masjid biasanya akan dilakukan sepekan sebelum masuk bulan Ramadhan. Semuanya dipersiapkan semeriah dan segegap gempita mungkin. Tidak lupa kajian tarhib Ramadhan yang sudah pasti isi materi kajiannya tentang fikih puasa. Klimaksnya adalah membludaknya jamaah salat tarawih di malam pertama Ramadhan. Semua masjid bak kebanjiran jamaah tiap tarawih di malam pertama Ramadhan. Yang demikian itu kemudian terjadi berulang-ulang sama persis di setiap tahunnya.

Pertanyaannya adalah apakah vibes tersebut bertahan lestari di bulan-bulan selanjutnya setelah Ramadhan? Jangankan sebulan, bisa bertahan satu pekan saja sudah sebuah prestasi yang langka. Bukankah yang demikian itu menandakan bahwa alam bawah sadar kita ini sebatas seremonial saja tentang bulan Ramadhan? Tentu saja yang namanya latah pastinya terjadi secara berulang-ulang di setiap tahunnya. 

Lengkap sudah, memang benar jika ada yang bilang umat Muslim di Indonesia punya hobi latah, bahkan latah dalam latah. Sadarkah kita bahwa inilah kondisi yang sebenarnya terjadi pada diri kita umat muslim? Apakah yang seperti ini sudah tidak ada lagi yang peduli? Sampai kapan pula cara pandang, pola pikir, dan alam bawah sadar kita terus terjerembap dalam seremonial dan rutinitas belaka?

Iya, memang betul jika ada yang beralasan “itu lebih baik daripada tidak sama sekali.” Standar minimalis memang kadang diperlukan dalam beberapa urusan. Tapi sebaiknya kita jangan gagal paham dengan makna standar minimalis. Standar minimalis lebih tepat jika penerapannya bersifat sementara dengan maksud ke depannya bisa mengupayakan untuk lebih baik lagi dan lagi, syukur-syukur bisa mencapai nilai ideal. 

Jika standar minimalis diterapkan selama-lamanya tanpa ada upaya peningkatan, maka itu bisa jadi hanya pembenaran atas kebiasaan yang sudah umum terjadi. Pilih mana, membiasakan yang benar atau membenarkan yang biasa?

Belum lagi jika kita membicarakan perilaku Muslimin di bulan Ramadhan. Saya pernah membaca satu artikel yang judulnya "The Unpopular Opinion about Ramadan". Salah satu poin yang dibahas dalam artikel tersebut adalah ternyata umat muslim justru lebih boros di bulan Ramadhan dibandingkan bulan-bulan lainnya. Hal ini terjadi tentu saja akibat dari bergesernya pemahaman kita terhadap esensi Ramadhan salah satunya seperti yang telah saya paparkan di atas. Bahkan bukan saja bergeser ataupun jauh dari esensi, melainkan malah bertentangan.

Jauh daripada itu, perilaku konsumtif Muslimin yang terbilang jadi bar-bar di bulan Ramadhan sejatinya menguntungkan kelompok-kelompok produsen kapitalis. Yang mana mereka sama sekali tak ada juntrungannya dengan Islam. Di sini bisa kita lihat bagaimana para kaum kapitalis mampu memanfaatkan momentum Ramadhan justru dengan tujuan mendisrupsi pemahaman muslimin dari agamanya. Yang demikian itu terjadi terus-menerus dari tahun ke tahun, windu ke windu, bahkan bukan tidak mungkin abad ke abad jika muslimin terus saja abai terhadap “musibah” ini. Sungguh prihatin, pilu, dan ironis.

Atas dasar kesadaran bersama inilah mari kita kembalikan pemahaman kita tentang Ramadhan sesuai dengan apa telah diajarkan oleh para ulama kepada kita. Kiranya sudah banyak ulama-ulama, para kyai, dan ustadz-ustadz yang telah mengajarkan esensi dari puasa Ramadhan. Kini saatnya bagi kita untuk mereview kembali materi-materi kajian tersebut dan berusaha untuk mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Pahamilah bahwa islam adalah agama ilmu, maka memang sudah seharusnya kita sebagai orang yang mengaku berislam mencintai ilmu apalagi ilmu tentang agama kita sendiri. Dengan begitu insyaallah kita bisa terhindar dari hal-hal yang menjerumuskan karena kita telah mengetahui ilmunya. Sebab, bagaimana mungkin kita ingin meraih predikat takwa akan tetapi di bulan Ramadhan kita sama sekali tidak menyibukkan diri dengan hal-hal yang bersifat menambah ilmu?

Konsekuensi horizontalnya kita tidak akan mudah dikangkangi ataupun ditipu lagi oleh kelompok-kelompok yang memusuhi dan membenci kita. Sedangkan konsekuensi vertikalnya kita bisa mendapatkan apa yang menjadi tujuan dari Ramadhan itu sendiri yaitu takwa. Wallahua’lam bis shawaab.

Posting Komentar

0 Komentar