Amin Abdullah: Madrasah Itu Titik Temu, Bukan Tempat Dikotomi Ilmu


GHIRAHBELAJAR.COM, JAKARTA – Guru madrasah harus memegang erat surah al-Hujurat ayat 11-13. Ayat tersebut mengajarkan agar sesama umat beragama (1) saling mengenal, (2) tidak saling merendahkan, (3) menghindari buruk sangka, (4) tidak mencari-cari kesalahan orang lain; (5) tidak saling mengejek (menggunjing), bahkan tidak berburuk sangka dan mencari kesalahan-kesalahan agama lain.

Hal itu disampaikan Prof Dr Amin Abdullah, guru besar filsafat UIN Sunan Kalijaga, dalam Webinar Internasional bertajuk “Kontribusi Madrasah dalam Kerukunan Umat Beragama”, Sabtu (28/8), yang digelar Maarif Institute dan Institut Leimena berkolaborasi bersama Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah, Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah, RBC Institute A. Malik Fadjar, dan Templeton Religion Trust. Acara ini dilakukan sebagai upaya menguatkan literasi keagamaan lintas budaya masyarakat.

Amin Abdullah menyampaikan, inti keberagamaan yang disebut dalam Alquran itu ada tiga. “Iman kepada Allah (man aamana billahi), hari akhir (wal yaumil akhir), dan amal saleh (wa amila shalihan). Ini penting sekali bagi guru agama, guru madrasah, dan guru-guru pada umumnya. Bahkan kita harus berbuat baik dan adil kepada semua umat beragama di dunia. Masing-masing agama punya doktrin seperti ini," ujarnya.

Menurut Amin, madrasah merupakan titik temu antara pesantren dan sekolah, bukan dikotomi antara ilmu umum dan agama. Padahal, dulu dua entitas tersebut tidak bisa bertemu. Di madrasah tidak ada egoisme keilmuan, tetapi saling menembus, saling memberi masukan, saling memberi imajinasi kreatif. Metode seperti itu yang diinginkan oleh literasi keagamaan lintas budaya.

Madrasah, kata dia, harus mampu mengombinasikan antara teologi, pedagogi, sosiologi, antropologi, psikologi, dan lain-lain. "Guru-guru madrasah di Indonesia sudah memiliki landasan untuk itu. Jadi di Indonesia ini luar biasa," tutup Amin Abdullah.

Karena itu, lanjut Amin, di tangan guru madrasah yang kompeten nasib bangsa bergantung. Terutama dalam membangun hubungan antara materi keagamaan Islam dan ilmu sosial dan sains kealaman yang integratif. Guru adalah kunci untuk memainkan proses pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai universal seperti toleransi, hidup berdampingan secara damai, saling memahami, terbuka menerima kehadiran orang lain yang berbeda, baik dari segi etnis, kultur, adat istiadat, agama, dan budaya.

Selain Amin Abdullah, kegiatan ini dihadiri sejumlah narasumber nasional dan internasional, di antaranya Dr Amirsyah Tambunan, MA (Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia), Dr Chris Seiple (Senior Fellow, University of Washington), Aly Aulia Lc MHum (Direktur Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta), dan Samah Norquist (Mantan Penasihat Utama Kebebasan Beragama Internasional, USAID).

Islam untuk Semesta


Di sisi lain, Prof Syafiq A Mughni dalam pidato kuncinya bercerita tentang pengalaman Muhammadiyah. Sepuluh tahun silam, ada seorang tokoh Evangelis datang ke kantor PP Muhammadiyah. Ia menyatakan akan ada konferensi 2 minggu yang akan menghadirkan 10 tokoh Muslim, Kristen, dan Yahudi ortodoks. Mengapa Muhammadiyah yang diundang? Menurut Ketua PP Muhammadiyah itu, hal tersebut dikarenakan Muhammadiyah aktif menyelenggarakan pendidikan Islam, sekaligus mendorong perdamaian di Indonesia.

Menurut Syafiq Mughni, Muhammadiyah memiliki pikiran-pikiran dalam berbagai dokumen resminya yang menganjurkan toleransi, menghargai pendapat orang lain, dan menghargai perbedaan. Ia juga menyebut bahwa umat Islam tidak didorong untuk memperbanyak musuh, melainkan memperbanyak kawan,

"Bekerja sama dengan pemerintah, dengan seluruh kelompok Islam, dan umat lain sekalipun beda agama. Kita didorong berkerja untuk siapapun, untuk melahirkan kehidupan yang memenuhi hajat kehidupan orang banyak," ujarnya dalam Webinar yang digelar oleh Maarif Institute dan Institut Leimena, Sabtu (28/8). Dalam kesempatan ini, ia hadir untuk memberikan ceramah kunci.

Senada dengan Syafiq Mughni, Panelis pertama Buya Amirsyah Tambunan menyebut bahwa sejatinya, agama mengajarkan keamanan, kenyamanan, ketertiban, dan kedamaian. Akan tetapi, agama juga mendorong pemeluknya untuk senantiasa berpikir jernih, jujur, dan melarang kekerasan, kezaliman, manipulasi dan korupsi.

"Mengapa umat beragama justru melakukan hal-hal yang dilarang? Ini tidak mudah dijawab karena kita hidup dalam situasi yang dinamis, dalam persaingan yang kompetitif dan terkadang tidak sehat," ujar Buya Amirsyah.

Menurutnya, Rasulullah SAW tidak hanya diutus untuk kelompok tertentu, melainkann untuk seluruh manusia dan alam. Maka Islam mengajarkan toleransi dan kasih sayang. Islam bukan agama yang menolak nilai-nilai kemanusiaan.

Literasi Lintas Budaya


Sementara itu, Chris Seiple menyebut bahwa literasi keagamaan lintas budaya bukan berarti mencampuradukkan agama. Literasi keagamaan lintas budaya juga bukan sekularisme. Ia justru sangat memperhitungkan kemahakuasaan Tuhan. Karena literasi tersebut tidak merendahkan yang lain.

"Mengetahui pihak lain, bukan untuk mengangkat agamanya, melainkan martabatnya. Sehingga bisa bekerja sama dan saling mendengar. Ini dibuat dari konteks lokal. Jadi bukan benda asing yang dipaksakan untuk masuk ke dalam budaya tertentu," tegasnya.

Menurutnya, ada tiga kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh setiap umat beragama. Pertama, kompetensi personal. Kompetensi ini digunakan untuk memahami diri sendiri. Kedua kompetensi komparasi. Kompetensi ini digunakan untuk memahami agama yang berbeda sebagaimana memahami diri sendiri. Ketiga, kompetensi kolaborasi, agar antar umat beragama dapat bekerja sama. (Azaki/Yusuf).

Posting Komentar

0 Komentar