Bagaimana Pers Pasca Reformasi?


GHIRAHBELAJAR.COM - JAKARTA, Pusat Studi dan Pendidikan Hak Asasi Manusia (Pusdikham) UHAMKA bersama Pusat Studi Hukum dan Politik (PSHP) mengadakan Webinar Nasional dengan tema “Perkembangan dan Kebebasan Pers Pasca Reformasi”, Rabu (18/8).

Kegiatan dilakukan secara daring melalui aplikasi Zoom Meeting dengan mengundang Manager Nasution selaku ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia (LPSK RI), Muhammad Asrun selaku Ketua PSHP, dan Jailani selaku Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Tanjungpinang.

Webinar Nasional dihadiri oleh Wakil Rektor IV UHAMKA Bunyamin. Kegiatan ini bertujuan memberikan ruang edukasi dengan pokok pembahasan perkembangan dunia pers pasca Reformasi. Selain itu melahirkan Prosiding Webinar Nasional sebagai bentuk karya tulis.

Bunyamin memberikan sambutan dan mengapresiasi kegiatan ini. Menurut dia, kegiatan ini merupakan bentuk ikhtiar dan tanggung jawab menjalankan pengabdian terhadap masyarakat.

“Ruang lingkup pers selama Indonesia menjalani kehidupan Reformasi telah menginjak 24 tahun menjadi bukti peran pers dalam menjaga kehidupan demokrasi dengan menjadi alat kontrol sosial melalui media pers yang memberikan informasi berorientasi fakta dan menjadi wadah masyarakat atas pemenuhan hak berpendapat,” ujarnya Rabu (18/8).

Manager Nasution menjelaskan mengenai dimensi konstitusional pers dalam kebebasan berpendapat. Bagi dia, pers sebagai media informasi dengan junjungan tinggi terhadap fakta dalam memberikan informasi guna mencerdaskan masyarakat.

Manager mengungkapkan, pers pasca Reformasi keluar dari belenggu yang membatasi kebebasan pers melalui UU NO. 21 Tahun 1982 mengeluarkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers sebagai alat kontrol pemerintah atas ruang gerak pers sehingga melahirkan korban pemberedelan.

“Pers pasca Reformasi menjalankan kebebasan pers bertanggung jawab atas dampak terhadap masyarakat, maka kebebasan pers yang bertanggung jawab menjaga nilai HAM dan menjunjung Undang-Undang serta etika prinsip pers,” ucap dia, Rabu (18/8).

Sementara itu, Muhammad Asrun mengungkapkan, etika profesi pers sebagai bentuk tanggung jawab sosial serta peran komunikasi massa sebagai alat kontrol sosial.

“Sikap etika pers tidak memihak, peduli, adil dan objektif atas fakta lapangan sehingga kebebasan pers memproduksi media informasi bersandar pada etika dijalankan dengan sesuai fakta tanpa harus takut menerima risiko pidana dan ancaman karena dianggap berlawanan dengan tujuan pemerintahan,” ujarnya.

Jailani mengatakan, awal pemerintahan Orde Baru memiliki peluang atas menjalankan kebebasan pers melalui UU NO.11 Tahun 1966 tentang prinsip dasar pers sebagai regulasi perlindungan kebebasan pers walaupun kondisi tersebut dibatasi dengan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), kehadiran SIUPP melahirkan korban pemberedelan media yang dialami oleh Tempo, Detik, dan Editor.

“Hambatan selama Orde Baru mendorong semangat progesif pers dengan lahirnya Aliansi Jurnalis Independen pada tahun 1994 sebagai upaya menjaga pers tetap sehat, pasca reformasi memberikan ruang baru terhadap kebebasan pers melalui UU NO. 40 Tahun 1999,” ujarnya.

Tantangan kebebasan pers pasca Reformasi, kata dia, menghadapi UU ITE dan RKHUP mengenai larangan kritik atas kepala negara sebagai bentuk hambatan atas ruang kebebasan pers.

“Kehidupan pers pasca reformasi memiliki kekuatan yang bertahap dan konsisten dalam menjadi alat kontrol sosial demi menjaga stabalitas ruang publik ditengah arus demokrasi,” ujar Jailani.

Webinar Nasional Pusdikham UHAMKA bersama PSHP berjalan dengan khidmat diikuti oleh sekitar 100 peserta merupakan praktisi pers, Mahasiswa dan akademisi dari beberapa kampus di Jabodetabek turut menyimak selama pemaparan yang dilakukan narasumber.

Posting Komentar

0 Komentar