Pelajaran Bahasa Indonesia dan Keterampilan C4


GHIRAHBELAJAR.COM, Oleh: Ismail, Mahasiswa Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia

Dalam wacana pendidikan nasional, kita tidak bisa lepas dari bagaimana ketercapaian pendidikan kita. Proses pendidikan itu dalam lingkup satuan pendidikan yang kita kenal sebagai sekolah tak bisa luput dari perhatian. Sebab, bagaimanapun sekolah merupakan lembaga pendidikan yang di dalamnya semestinya hadir iklim pembelajaran yang ideal untuk menciptakan masyarakat ilmu yang berpikir bebas dan maju.

Meski begitu, makna sekolah yang kita tahu sekarang sebetulnya bentuk penyempitan dari makna sebenarnya. Menurut Roem Topatimasang, dalam buku Sekolah Itu Candu, sekolah awalnya merupakan sebuah kegiatan di mana orang-orang Yunani mengisi waktunya dengan berdiskusi, berdebat, atau mendengarkan suatu pengetahuan.

Kegiatan itu mereka sebut scolae. Inilah akar paling mendasar dari bentukan kata sekolah. Perlahan namun pasti, sekolah menjadi kegiatan yang positif dan digemari orang-orang pada masa itu. Dalam perjalanannya akhirnya kegiatan scolae mengalami pelembagaan. Yang awalnya hanya berdiskusi, kemudian mulai mendatangkan pakar atau orang-orang yang punya kemampuan dan pengetahuan lebih untuk berbagi kepada yang lainnya. Sekarang, kita bisa anggap orang itu adalah guru, fasilitator, pendidik, dan beragam sebutan lainnya.

Nah, dari sini kita bisa menangkap bahwa sebenarnya sekolah itu punya tujuan yang sejalan dengan pendidikan, yakni membentuk manusia yang memiliki kemampuan dan memaksimalkan potensinya untuk hidup dan bermanfaat bagi kehidupan. Setidaknya, itulah yang kini kita kenal dengan pendidikan karakter. Omong-omong pendidikan karakter, UNESCO memiliki parameter ketercapaian untuk manusia di abad 21. Setidak-tidaknya pendidikan mampu memberikan empat kriteria keterampilan untuk bekal hidup para peserta didik.

Empat kriteria itu sering disebut oleh Kemendikbud RI dengan istilah C4. C4 di antaranya critical thinking, creativity, communication, dan colaboration (berpikir kritis, kreatif, komunikasi, dan kolaborasi). Keempat keterampilan mendasar ini dinilai mampu menghadirkan daya saing bagi seseorang yang hidup di abad informasi seperti sekarang ini. Di sini saya ingin mencoba menggarisbawahi keempat keterampilan ini sebagai potensi yang mesti dikembangkan salah satunya melalui pembelajaran bahasa Indonesia.

Bagaimana proses pembelajaran yang mampu menghadirkan tradisi berpikir dan ketiga keterampilan lainnya itu? Hal ini sangat berkaitan erat dengan bagaimana kita memaknai pendidikan dan proses belajar itu sendiri. Pertama-tama, kita mesti sepakat bahwa proses belajar atau pembelajaran di sekolah adalah sebuah proses pembebasan manusia dari berbagai keterkekangan. Pendidikan itu memerdekakan, membebaskan. Nah, critical thinking bisa kita mulai dengan pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan itu bisa datang dari guru, fasilitator, tutor, atau bahkan dari peserta didik sendiri. Sebab, dalam pembelajaran merdeka, hubungan egaliter antara guru dengan murid harus dikedepankan.

Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, kita bisa memulai pembelajaran dengan membaca teks, namun bukan teks yang ada di dalam buku paket. Melainkan teks yang bebas bisa kita temukan entah dari koran, majalah, dan berbagai sumber bacaan lainnya. Bahkan, kalau bisa penggunaan gadget dimaksimalkan untuk proses ini. Di sisi lain, ini juga menjadi pembiasaan agar gadget bisa lebih ke arah positif. Setelah itu, ketika membaca sudah selesai, bukalah forum diskusi kecil. Berikan kesempatan kepada semuanya untuk berbicara, mengemukakan pendapat, menyanggah pendapat, mempertahankan argumentasi, dan bertanya.

Dinamika kelas yang demikian akan memunculkan daya nalar kritis, sekaligus membangun kemampuan komunikasi yang baik para siswa. Dialektika di dalam pembelajaran itu sangat penting untuk membangun keterampilan berbicara dan mental untuk berani mengungkapkan pendapat. Dari sini saja kita sudah mendapatkan dua poin, yakni critical thinking dan communication.

Kemudian, untuk mencapai dua poin lainnya, yakni creative dan colaborative, guru atau fasiltator dapat memberikan tugas kelompok. Apa tugasnya? Berusahalah untuk memberikan tugas yang tidak hanya melibatkan kognitif di mana isinya hanya pengulangan terhadap materi pelajaran. Berikanlah tugas yang dapat merangsang kreativitas dan nalar intelektual peserta didik. Bisa juga berikan tugas yang tidak terlalu serius. Misalnya, sesakali ajak mereka ke luar kelas. Belajar di lapangan atau kantin.

Buatlah project bersama untuk setiap kelompok berikan tema yang berbeda. Sehingga ketika di sesi evaluasi nanti bisa lebih bervariasi dan memberikan edukasi untuk yang lainnya. Orientasi pembelajaran ini bukanlah hasilnya, melainkan prosesnya. Di mana mereka para peserta didik dapat saling bekerja sama, berkomunikasi, berdiskusi, dan memaksimalkan akal kreatifnya.

Dengan begitu, poin creative dan colaborative dapat terbangun. Tentu saja, pola pembelajaran ini bisa kita lakukan untuk berbagai topik pelajaran. Tinggal disesuaikan saja bagaimana runutan prosesnya. Dan jangan lupa, guru mesti menentukan apa goal dari masing-masing proses pembelajaran.

Posting Komentar

0 Komentar