Konser Coldplay, LGBT, dan Sikap Kita


GHIRAHBELAJAR.COM, Oleh: Ahmad Soleh

Pada hari Jumat beberapa waktu lalu, penulis menunaikan shalat Jumat di salah satu masjid di daerah Sukmajaya, Kota Depok. Kebetulan, pada hari itu, penulis sedang ada keperluan untuk berbelanja buku di salah satu toko yang terletak di wilayah tersebut.

Dalam setiap Jumatan di manapun pasti ada sesi mendengarkan dua khotbah. Sebab dua kali khotbah dengan disela duduk sang khotib merupakan rukun dari pelaksanaan shalat Jumat. Amat menarik menyimak materi khotbah yang disampaikan sang khotib. Materi yang membahas tentang hal yang selalu ramai menjadi perbincangan masyarakat.

Kurang dan lebihnya, seperti judul yang penulis sematkan di atas, materi khotbah yang disampaikan sang khotib ada kaitannya dengan konser Coldplay, kampanye LGBT, dan bagaimana kita menyikapinya. Setidaknya, ketiga poin itu disinggung oleh sang khotib yang akan penulis coba ulas dalam uraian ini.

Dalam pemaparannya, sang khotib memberikan penegasan bahwa konser grup musik Coldplay yang akan digelar di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Indonesia, pada November berpotensi menjadi pewajaran terhadap perilaku LGBT. Hal ini didasarkan pada, ungkapan seorang tokoh yang seperti disampaikan khotib, “Ada tokoh yang menyebutkan bahwa LGBT adalah kodrat.”

Penulis kurang paham betul siapa tokoh yang dimaksud oleh sang khotib karena ia tak menyebutkan siapa, kapan, dan di mana tokoh tersebut berbicara demikian. Merespons ujaran itu, khotib menekankan bahwa dalam Islam itu hanya ada laki-laki dan perempuan. Dalam Islam juga ada syariat untuk menikah, yang salah satunya bertujuan agar umat manusia memperoleh keturunan.




Kemudian, penyebaran perilaku LGBT ia nilai banyak disumbang oleh kaum gay, yang merupakan sumber dari berbagai penyakit, antara lain HIV, AIDS, dan kanker anus. Berdasarkan data Kemenkes yang dikutip Republika.co.id, tren peningkatan kasus HIV terus meningkat dari 2016-2020. Setidaknya, pada triwulan I 2022 dapat dilihat tresn serupa, dari total 10.525 kasus penularan HIV, sebanyak 30,2 persen terjadi melalui hubungan sesama jenis, sementara 12,8 persen terjadi pada hubungan heteroseksual.

Hal ini tentu sangat memprihatinkan dan tidak bisa dianggap sebagai fenomena biasa. Dampak dari perilaku menyimpang ini perlu disoroti agar ke depan bisa kita cegah penyebarannya di masyarakat. Dengan kondisi demikian, perilaku LGBT tidak bisa disebut sebagai “kodrat” dan pewajaran terhadap perilaku ini bisa berdampak negatif dan jadi malapetaka bagi generasi mendatang.

Benarkah Coldplay Pro LGBT?

Konser grup musik Coldplay memang mengundang banyak reaksi dari berbagai kalangan. Isu tentang kampanye LGBT mencuat lantaran dipantik oleh pegiat PA 212 Novel Bamukmin, disusul MUI, yang dengan keras menolak adanya kampanye LGBT. Bahkan, Novel Bamukmin mengancam akan mengadang Coldplay di bandara bila konser tetap digelar.

Sikap penolakan semacam itu juga mendapat reaksi dari berbagai pihak. Pihak yang tidak menolak konser Coldplay digelar cenderung beranggapan bahwa apa yang dilakukan Coldplay bukanlah kampanye LGBT. Hanya konser musik seperti pada umumnya dan lagu-lagu Coldplay pun dinilai tidak memiliki muatan-muatan kampanye LGBT di dalamnya.

Sementara mereka yang menolak, menganggap Coldplay “mendukung LGBT”. Bagaimana kebenarannya? Menurut sejumlah sumber, Coldplay sering mengibarkan bendera pelangi dalam konsernya. Hal inilah yang menandakan dan menegaskan bahwa mereka memberikan dukungan terhadap LGBT. Mengibarkan bendera LGBT termasuk mengampanyekan perilaku tersebut. Kampanye inilah yang mesti diwaspadai, sebab di berbagai belahan dunia sudah masif gerakan kampanye perilaku LGBT.

Dua pandangan yang berseberangan ini perlu didudukkan. Jadi, sebetulnya kita sama-sama menolak perilaku LGBT dan apa pun kampanye yang menormalkan, mengampanyekan, dan menyosialisasikan perlaku tersebut. Kita sama menolak kampanye LGBT sebagai gaya hidup dan pewajaran kodrat manusia. Namun, bukan berarti menolak manusianya. Meskipun dalam hal ini agak saru dan kita mesti bersikap penuh hati-hati.



Tolak Perilakunya, Bukan Orangnya

Dalam perspektif Islam, perilaku LGBT jelas tidak sesuai dengan ajaran agama. LGBT bukanlah kodrat atau seperti pembelaan mereka “orientasi seksual”. Namun, Islam tidak mengajarkan kita untuk mempersekusi atau menghakimi orangnya dengan brutal. Kita harus mengedepankan moralitas kemanusiaan dalam upaya merespons keberadaan mereka.

Sebagaimana Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengungkapkan bahwa sebagai manusia kita harus tetap menerima mereka sebagai bagian dari masyarakat. Namun, dari segi perilaku, itu jelas bertentangan dengan ajaran agama Islam. Hal ini, menurut Mu’ti, mesti dilihat sebagai masalah sosial dan moral yang harus direspons dengan sangat hati-hati dan komprehensif.

Lalu, bagaimana menyikapi gelaran konser Coldplay? Hal ini juga disampaikan Majelis Ulama Indonesia (MUI). “Kebiasaan Coldplay mengibarkan bendera pelangi itu harus disepakati saat konser di Indonesia tidak mengibarkan (bendera pelangi) karena itu bermakna kampanye LGBT,” kata Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah KH Muhammad Cholil Nafis, Republika.co.id, Kamis (18/5).

Untuk soal kampanye LGBT dalam konser Coldplay memang sudah seharusnya ditolak. Namun, perlu dicatat, yang kita tolak adalah “kampanye LGBT” bukan gelaran konsernya. Jadi, konser bisa tetap diadakan dan tidak perlu diributkan. Untuk itu, perlu ada kesepakatan bersama agar grup musik tersebut tidak mengibarkan bendera “pelangi” di tengah konser atau melakukan hal apa pun yang bertendensi mengampanyekan gaya hidup dan perilaku LGBT.

Terakhir, penulis ingin mengutip ungkapan seorang budayawan, Kyai Cepu, yang dengan tegas menolak kampanye perilaku LGBT: “Mereka (para pendukung LGBT) saja berani terang-terangan mendukung LGBT. Karena itu kita pun wajib terang-terangan menentang LGBT.”

Posting Komentar

0 Komentar