Sepeda Bapak


Oleh: Kak Soleh

GHIRAHBELAJAR.COM - Sudah bukan pemandangan yang aneh lagi, melihat masyarakat tua dan muda berbondong-bondong berkonvoi naik sepeda. Mereka mengayuh si kuda besi dengan penuh semangat dan keceriaan di jalan-jalan umum. Entah mengapa dan apa alasannya, masyarakat memilih olahraga sepeda guna mengisi waktu penat di tengah pandemi ini.

Saya akui, bersepeda merupakan olahraga yang menyenangkan. Apalagi bila mengayuhnya di waktu pagi atau sore hari, ditambah lagi beramai-ramai. Pasti jauh lebih menyenangkan. Dan tentu olahraga ini juga menyehatkan bagi tubuh. Sudah mah senang, sehat pula.

Kondisi seperti sekarang ini, setidaknya pemandangan yang saya lihat di daerah sekitar tempat tinggal dan kantor, mengingatkan saya jauh ke masa lalu. Tepatnya sekitar 20 tahun yang lalu. Ketika saya pertama kali dibelikan sepeda oleh bapak. 

Dulu, waktu usia tujuh tahun, saya merengek minta disunat. Ya, saya ngiri karena teman sepermainan saya sudah ada rencana mau disunat sebelum masuk sekolah. Tanpa basa-basi, bapak dan emak besok harinya langsung membawa saya ke klinik untuk disunat. Ya, begitulah bapak. Tidak suka menunggu lama untuk sesuatu rencana yang baik.

Saya pun senang sambil juga deg-degan. Senang karena budaya di kita bila ada anak sunat pasti banyak yang memberi duit persenan. Deg-degan karena ini pengalaman pertama saya disunat, dan cukup sekali saja. He he he. Singkat cerita, esok paginya, subuh-subuh saya diantar naik taksi ke klinik dan disunat.

Nah, duit hasil pemberian dan persenan dari orang-orang itu dibelikan sepeda oleh bapak. Tentu saja, bukan sepeda lipat atau sepeda listrik seperti yang kamu punya sekarang. Sepeda jadul bekas dengan kring-kring di bagian kanan stangnya. Bila tak salah, di depannya pun ada keranjangnya.

Waktu itu, ketika saya sudah sembuh dari luka jahitan bekas sunat, bapak mengajak saya membelinya di pasar Cengkareng seperti yang sudah ia janjikan. Di pinggir jalan, seorang bapak tua menjajakan berbagai jenis sepeda bekas. Saya dan bapak memilih sepeda berwarna silver metalik. Bila tak salah harganya Rp 50 ribu waktu itu. 

Saya senang sekali punya sepeda baru pemberian bapak. Saya pun belajar mengendarainya saban sore. Terjatuh, nyusruk, menabrak adalah pemandangan biasa. Dengkul dan tangan pun lecet dan berdarah-darah. Tapi akhirnya saya bisa mengendarai sepeda dengan baik.

Nahasnya, sepeda pemberian bapak itu hanya bertahan seminggu. Ya, sepeda berwana silver metalik itu hilang dicuri orang. Untuk ukuran pada masa itu, sepeda bekas tersebut memang terbilang masih sangat bagus kondisinya, meski beberapa kali saya pakai jatuh. 

Saya pun sedih banget. Padahal, sudah disimpan baik-baik, bahkan dirantai dan digembok. Tapi namanya juga maling, ya tugasnya maling dan dia sukses membobol sistem keamanan sepeda pemberian bapak.

Setelah itu dan sampai sekarang saya belum pernah lagi membeli sepeda. Dan jujur saja, bila melihat orang-orang sekarang naik sepeda, saya sedih karena ingat sepeda pertama saya. Sepeda pemberian bapak yang hilang dicuri itu. 

Terima kasih bapak. Sepedanya mungkin sudah hilang entah ke mana, tapi kenangannya tetap dan akan selalu ada di kepala saya.

Posting Komentar

0 Komentar