Menelaah Permendikbudristek 30 Tahun 2021


GHIRAHBELAJAR.COM, Oleh: Muammar Khadafi*

Akhir-akhir ini ramai perdebatan di dunia maya tentang regulasi yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek). Regulasi itu adalah Permendikbutristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Reaksi yang beragam dimunculkan oleh berbagai macam pihak.

Ada pihak yang sangat pro dan ada juga yang sangat kontra dengan Peraturan Menteri ini. Semisal saja seperti yang dikabarkan oleh liputan6 bahwa anggota Komisi X DPR RI yang juga politikus PDIP MY Esti Wijayati bahwa Permendikbutristek Nomor 30 Tahun 2021 adalah suatu langkah solutif dan wajib diapresiasi sebab sampai saat ini pun Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) masih dalam proses pembahasan. Anggota Komisi X DPR RI MY Esti Wijayati meyakini bahwa langkah yang diambil oleh Mendikbudristek Nadiem Makarim adalah langkah yang cerdas dan preventif dalam mencegah terjadinya kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.

Namun, di sisi lain ada juga pihak-pihak yang kontra dengan Peraturan Menteri ini, salah satunya adalah Muhammadiyah. PP Muhammadiyah melalui siaran pers yang dikeluarkan oleh Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) pada tanggal 8 November 2021 menyatakan bahwa Permendikbutristek Nomor 30 Tahun 2021 memiliki masalah dalam proses pembuatannya yang tidak terbuka serta bertentangan dengan peraturan yang berada di atasnya.

Di sisi lain juga Muhammadiyah menganggap bahwa muatan di dalam Permendikbutristek Nomor 30 Tahun 2021 bertentangan dengan Quran, Sunnah, dan UUD 1945 itu sendiri sebab secara tidak langsung Peraturan Menteri ini melegalkan perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan pihak-pihak yang bersangkutan. Lalu bagaimana sebenarnya status dari Permendikbutristek Nomor 30 Tahun 2021 dari sudut pandang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945? Tulisan ini mencoba menyajikan telaah secara kritis Permendikbutristek Nomor 30 Tahun 2021 dari sudut pandang UUD 1945.

UU dan Perumusannya


Undang-undang didefiniskan secara etimologi memiliki berbagai macam makna. Yang pertama adalah sebagai ketentuan dan peraturan negara yang dibuat oleh pemerintah, disahkan oleh parlemen atau badan legislatif, ditandatangani oleh kepala kepala negara, dan memiliki kekuatan yang mengikat. Lalu yang kedua adalah aturan yang dibuat oleh orang atau badang yang berkuasa. Dan yang terakhir adalah didefinisikan sebagai hukum. Dari beberapan pengertia di atas dapat disintesiskan bahwa undang-undang adalah peraturan yang dibuat oleh pihak-pihak yang memiliki kuasa serta bersifat mengikat. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) adalah konstitusi daripada Indonesia itu sendiri. Setiap peraturan atau regulasi atau undang-undang yang berada di Indonesia harus memiliki dasar dan kesesuaian secara yuridis dari UUD 1945.

Kita telaah dari proses perumusan dan penetapan dari Permendikbutristek Nomor 30 Tahun 2021 yang cenderung tertutup dari rakyat dan/atau pihak-pihak stake holder baik itu dari golongan agamawan, budayawan, dan sebagainya. Padahal di dalam UUD 1945 itu sendiri jelas di dalam pembukaan atau preambule pada alinea ke 4 dan BAB I pasal 1 bahwa Indonesia kedaulatan dari negara Indonesia berada di tangan rakyat. Padahal, setelah kita telaah secara teliti dan seksama Permendikbutristek Nomor 30 Tahun 2021 ini sangat membutuhkan masukan-masukan dari ahli-ahli agama, pendidikan, serta mahasiswa itu sendiri atau unsur sosio-empiris.

Pada BAB I Ketentuan Umum Pasal disebutkan unsur-unsur seperti mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, dan warga kampus. Amat sulit dicerna akal sehat ketika unsur-unsur yang telah disebutkan tadi tidak terlibat secara langsung dengan pembuatan Permendikbutristek Nomor 30 Tahun 2021, tapi diwajibkan mengimplementasikannya. Hal ini dapat dianalogikan sebagaimana ketika seorang dokter meresepkan suatau obat tanpa mengecek terlebih dahulu keadaan sesungguhnya dari sang pasien dan sang pasien itupun dituntut untuk meminum obat itu tanpa mengetahui obat apa yang sesungguhnya dia minum.

Pemaknaan Sempit


Lalu selanjutnya adalah pemaknaan yang sempit dari kata “Kekerasan Seksual”. Pada BAB I Pasal 1 ayat 1 Permendikbutristek Nomor 30 Tahun 2021 dituliskan definisi “Kekerasan Seksual” sebagai “setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.”

Sudah jelas sekali frasa “karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender” adalah suatu pemaknaan yang terlalu sempit sebab masih banyak kausa-kausa lain yang membuat terjadinya kekerasan seksual, baik itu karena minimnya pengetahuan sang korban tentang kekerasan seksual atau sebab-sebab lainnya. Di sisi lain juga Pasal 1 ayat 1 Permendikbutristek Nomor 30 Tahun 2021 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”

Ketika kekerasan seksual dilakukan oleh suatu pihak kepada pihak lain yang secara status setara atau sama maka hal itu tidak dapat dikatakan lagi sebagai kekerasan seksual sebab definisi kekerasan seksual menurut Permendikbutristek Nomor 30 Tahun 2021 adalah dibatasi frasa “karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender”. Definisi tentang kekerasan seksual yang sempit di dalam Permendikbutristek Nomor 30 Tahun 2021 mengindikasikan adanya ketidakpastian hukum untuk mereka yang mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang lain yang secara status setara atau sama atau tidak mengalami ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender.

Agama dan Kesehatan


Agama berasal dari bahasa Sanskerta yaitu agama (आगम) yang diderivasi dari kata गम् (gam) yang bermakna pergi dan kata depan आ (ā) yang bermakna lurus. Secara terminologi agam bermakna segala macam tradisi atau aturan yang diajarkan Yang Mahakuasa untuk kebaikan manusia supaya terhindar dari kekacauan dan mendapatkan ketenangan. Jikalau kita menilik Permendikbutristek Nomor 30 Tahun 2021 maka akan kita temukan bahwa Peraturan Menteri ini amat minim dari nilai norma agama. Pada Pasal 5 ayat 2, segala tindakan asusila yang dilakukan pihak yang satu atau pelaku kepada pihak lain atau korban “dengan tanpa persetujuan sang korban” maka hal itu dapat dimasukkan ke dalam kategori kekerasan seksual, akan tetapi bila korbannya menyetujui maka akan hal itu bukanlah kekerasan seksual. Kita ambil saja contoh pada Pasal 5 ayat 2 huruf f. “mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban.”

Jelas sekali bahwa jika aktivitas seksual antara pelaku dan korban itu dilakukan atas persetujuan atau consent sang korban maka hal itu dapat dibenarkan. Ini dapat disimpulkan bahwa Permendikbutristek Nomor 30 Tahun 2021 Pasal 5 ayat 2 secara tersirat melegalkan seks di luar nikah dan menegasikan nilai-nilai filosofis agama yang terkandung pada Pancasila dan UUD 1945. Padahal jelas sekali pada pembukaan atau preambule UUD 1945 pada alinea ke 4 bahwa kedaulatan Indonesia berdasarkan pada ketuhanan Yang Maha Esa serta Pasal 31 ayat 1 (3) bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan UU.

Sudah jelas sekali bahwa di dalam proses bernegara dan/atau berkonstitusi kita sebagai warga Indonesia akan selalu pasti melibatkan agama sebab hal itu adalah yang menjadi ideologi atau falsafah atau pandangan hidup atau landasan paling fundamental dari kenegaraan kita. Mungkin ada beberapa orang yang akan mengatakan “urusan agama dan kelamin adalah urusan pribadi saya dengan Tuhan saya”.

Memang betul secara hakikat urusan agama dan kelamin adalah urusan pribadi, tetapi jikalau kita lihat dari perspektif ideologi dan konstitusi Indonesia yaitu Pancasila dan UUD 1945 maka hal itu tidak dikatakan sepenuhnya benar. Sebab, Pancasila dan UUD 1945 adalah 2 hal yang secara pasti mengintegrasikan antara agama dengan negara. Di sisi lain efek daripada pengimplementsian dari pada Peraturan Menteri ini adalah akan timbulnya pembenaran seks di luar nikah dengan dengan asas “saling setuju atau saling mau” dan juga efek kesehatan yaitu merajalelanya penyakit kelamin atau bahkan lebih buruk semisal HIV/AIDS.

Mungkin akan beberapa orang yang berkata bahwa hal itu dapat dicegah melalui kampanye penggunaan pengaman atau alat kontrasepsi. Padahal kita tau sehebat apapun kampanye penggunaan alat pengaman atau kontrasepsi ketika melakukan kegiatan seks itu tidak terlalu efektif dalam mencegah terjadinya penyebaran penyakit kelamin atau HIV/AIDS, kita ambil saja contoh di Amerika Serikat yang setiap tahunnya selalu ada peningkatan dalam penderita HIV/AIDS.

Hal ini dapat simpulkan bahwa Permendikbutristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi adalah suatu langkah Menteri Nadiem Makarim yang wajib diapresiasi oleh seluruh warga Indonesia. Sebab melalui Peraturan Menteri ini kita menjadi sadar dan paham bahwa wajib bagi kita untuk melindungi diri sendiri dan orang lain dari jenis kekeresan apapun termasuk kekerasan seksual. Namun di sisi lain dalam proses pembuatan regulasi seperti itu harus tetap melibatkan rakyat secara aktif serta juga harus memperhatikan nilai-nilai dari pada 2 pusaka dari Indonesia itu sendiri, yaitu Pancasila dan UUD 1945.

*Mahasiswa FKIP Uhamka

Posting Komentar

0 Komentar