Resensi Novel 'Janji' Karya Tere Liye


 

GHIRAHBELAJAR.COM, Oleh Laskar Badar

Sinopsis


Novel ini menceritakan tentang tiga santri yang mendapatkan hukuman dari Buya berupa misi pencarian seseorang bernama Bahar. Tiga santri tersebut adalah Baso, Kahar, dan Hasan yang diceritakan sebagai santri dengan banyak kasus-kasus kenakalan ketika nyantri di sekolah agama milik Buya. Kisah bermula ketika Buya sudah kewalahan dengan kasus terakhir yang Baso, Kahar, dan Hasan lakukan, yaitu memasukkan sesuatu yang tidak enak ke dalam minuman rombongan tamu pejabat yang berkunjung ke sekolah agama milik Buya tersebut.

Baso, Kahar, dan Hasan yang kemudian disebut sebagai tiga sekawan itu mengira bahwa Buya akan mengeluarkan mereka dari sekolah agama. Namun alih-alih dikeluarkan, mereka justru mendapatkan cerita menarik dari Buya tentang seseorang yang bernama Bahar. Diceritakan bahwa Bahar merupakan satu-satunya santri yang dikeluarkan dari sekolah agama itu. Cerita itu terjadi ketika Buya yang sekarang masih kecil dan ketika itu sekolah agama masih dipegang oleh Buyanya Buya yang sekarang.

Bahar adalah pemuda yatim piatu yang dibawa oleh neneknya ke sekolah agama. Hidupnya yang tanpa aturan dan sembarangan membuat neneknya tidak punya pilihan lain selain menitipkannya ke sekolah agama. Selama belajar di sana sudah tak terhitung lagi kenakalan-kenakalan yang Bahar lakukan. Semua kenakalannya itu ia lakukan dengan tujuan supaya Buya (ayahnnya Buya yang sekarang) mengeluarkannya dari sekolah agama tersebut.

Situasi dilematis pun terjadi. Di satu sisi Ayah Buya sudah bersumpah dengan dirinya sendiri tidak akan mengeluarkan santri dengan alasan apapun. Di sisi yang lain kelakuan Bahar terbilang sudah sampai pada puncaknya yang bahkan berakibat pada kematian salah satu santri Ayah Buya yaitu Gumilang. Pada akhirnya Ayah Buya menyerah dan harus mengingkari sumpahnya sendiri. Sekian lama ia telah banyak bersabar terhadap Bahar, sampai akhirnya Ayah Buya mempersilahkan Bahar untuk pergi dari sekolah agama tersebut.

Beberapa hari setelah kepergian Bahar, Ayah Buya bermimpi aneh. Mimpi yang membuat Ayah Buya bingung dan bertanya-tanya. Mimpi yang datang selama tiga malam berturut-turut dengan kejadian sama persis dan sangat detail. Ia bermimpi tentang Bahar yang mendapatkan kemuliaan menaiki tunggangan terbang berlapis emas menghampiri dan menjemput Ayah Buya. Sungguh karena mimpi itu Ayah Buya dibuat menyesal atas perbuatannya terhadap Bahar.

Ayah Buya pun memutuskan untuk mencari Bahar, namun pencariannya nihil. Hingga di hampir ujung usianya ia mewasiatkan kepada anaknya yaitu Buya yang sekarang untuk mencari di mana Bahar berada dan menanyakan perbuatan apa yang ia lakukan sehingga mendapatkan kemuliaan itu. Buya pun berjanji akan menunaikan wasiat terakhir dari ayahnya itu, namun lagi-lagi selama bertahun-tahun Buya mencarinya, Bahar tak diketahui di mana rimbanya.

Wasiat itulah yang kemudian oleh Buya dijadikan hukuman atas perbuatan yang dilakukan oleh Tiga Sekawan. Buya berharap melalui hukuman itu Tiga Sekawan bisa mengambil banyak hikmah dan pelajaran dari perjalanan mereka mencari keberadaan Bahar.

Dalam masa pencariannya, Tiga Sekawan banyak sekali mendapatkan cerita-cerita seru, unik, sekaligus menarik dari orang-orang yang pernah punya hubungan dengan Bahar. Tiga Sekawan itu benar-benar banyak mendapatkan pelajaran yang tak ternilai harganya dari pencarian tersebut. Bahkan lewat pencarian itulah mereka bertiga akhirnya mendapatkan pencerahan tentang kacaunya kehidupan yang selama ini mereka jalani.

Selalu Menyisakan Penasaran


Kesan pertama setelah membaca novel ini adalah kedalaman ceritanya yang sangat kuat. Tere Liye sangat tepat mengambil sudut pandang orang ketiga sehingga ia bisa berkreasi sebebas-bebasnya dalam menetukan alur serta skenario novel ini. Hal itulah yang membuat beberapa plot twist yang ada tidak terlalu terkesan menjadi suatu kebetulan yang dipaksakan. Dengan gaya bahasa yang relatif mudah dipahami, Tere Liye berhasil mengusir kejenuhan dari rentetan cerita panjang yang ia hadirkan dalam novel ini. Setiap cerita demi cerita yang ada selalu bisa menyisakan rasa penasaran untuk mengetahui apa yang terjadi setelahya.

Novel ini terbilang bertema semi religi yang sarat akan nilai-nilai agama serta pesan moral. Salah satu contohnya yang paling spesifik disebut adalah pentingnya Tauhid. Meski begitu Tere Liye tetap tidak menghilangkan jiwa kritisnya ketika ia menceritakan dunia gelap di penjara. Antara nilai religius dan kritis bisa ia hadirkan secara proporsional dan masuk akal. Sehingga pecah fokus bisa terhindari manakala kedua hal yang berbeda itu ia sajikan di dalam novel ini.

Selalu menjadi hal yang menarik ketika di awal cerita pembaca langsung disuguhkan konflik utama. Kemudian disusul dengan konflik-konflik pendukung lainnya dengan teknik menulis flashback yang menjelma menjadi susunan puzzle sempurna pada satu titik.

Bertabur Komedi, Tapi Garing


Yang paling terasa kurang adalah beberapa guyonan dan candaan dalam novel ini yang punchline-nya kurang kena. Komedi menjadi salah satu unsur yang diperlukan untuk menyegarkan pikiran pembaca dari rasa spaneng. Sedangkan dalam novel ini komedi yang disajikan terkesan masih klasik dan normatif atau bahasa gaulnya “garing”.

Sejak awal cerita sudah bisa ditebak bahwa perjalanan Tiga Sekawan adalah rentetan cerita dari orang ke orang yang pernah berhubungan dengan Bahar. Walaupun hal itu kemudian tertutupi dengan kepiawaian seorang Tere Liye dalam mengolah rentetan tersebut menjadi cerita yang sangat dalam. Namun, alangkah lebih baik jika hal-hal yang mudah ditebak tersebut tidak langsung ditaruh di awal-awal cerita.

Terakhir adalah ending yang rasa-rasanya sangat tanggung. Ending jadi terkesan hanya ending saja tanpa ada detailing yang cukup sebagaimana cerita-cerita sebelumnya. Ending langsung berakhir pada janji yang diucapkan oleh Ayah Buya. Sedangkan cerita tentang Tiga Sekawan juga ikut selesai begitu saja. Ini menjadi suatu ketidakpuasan pembaca terhadap bagaimana kemudian cerita tentang Tiga Sekawan setelah mendapat pengalaman yang luar biasa itu.

***

Novel ini mengingatkan kita semua pada perkataan Tan Malaka bahwa “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh seorang pemuda”. Novel ini banyak sekali memberikan pelajaran yang amat sangat berharga untuk kita semua terlebih lagi untuk para pemuda maupun pemudi yang membacanya. Memiliki prinsip serta idealisme menjadi sangat penting untuk pemuda-pemudi di era disrupsi ini. Serta sebisa mungkin untuk jangan sampai mengesampingkan peran agama dalam kehidupan kita. Maka perkataan Tan Malaka serta nilai-nilai yang terkandung dalam novel ini sangatlah relevan jika kita ambil sebagai sebuah pelajaran hidup dewasa ini.

Identitas Buku


Judul buku: Janji
Pengarang: Tere Liye
Penerbit: Sabakgrip
Tanggal cetak: 4 Januari 2022
ISBN: 9786239726201
Tebal halaman: 486 halaman

Posting Komentar

0 Komentar