Disonansi Kognitif pada Generasi Sandwich



GHIRAHBELAJAR.COM, Oleh: Nila Erdiani*

Apa itu Generasi Sandwich?

Generasi sandwich merupakan generasi yang umumnya berusia middle aged yang memiliki peran ganda, yaitu bertanggung jawab terhadap anaknya yang masih tinggal bersama di rumah dan juga bertanggung jawab atas orang tua serta mertuanya (Schlesinger & Raphael, 1993; Marts, 2013). Dampak dari peran generasi sandwich memiliki beberapa dampak negatif dari segi fisik, psikologis, emosional, dan beban keuangan (Salmon, 2017).

Seiring perkembangannya pada beberapa tahun terakhir di mana generasi milenial yang berada di posisi merawat orang tuanya yang menua, maka dinamika definisi “generasi sandwich” bertransisi meluas menjadi “kelompok generasi sandwich” yang terdiri atas empat generasi keluarga yang saling ketergantungan satu sama lain dalam beberapa hal (Migliaccio, 2019).

Selain itu, generasi sandwich membuat jumlah tanggungan keluarga yang lebih banyak apabila dibandingkan dengan non-generasi sandwich. Jumlah tanggungan keluarga yang lebih banyak tersebut menyebabkan generasi sandwich memiliki kewajiban finansial yang cenderung lebih tinggi dan proporsi waktu luang yang lebih sedikit dibanding non-generasi sandwich.

Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Kurikulum Merdeka Belajar 


Jenis-Jenis Generasi Sandwich

1. The Traditional Sandwich Generation

Traditional sandwich generation adalah generasi berusia 30-50 tahun dengan anak-anak yang belum bekerja sekaligus juga masih memiliki orang tua lanjut usia dengan kebutuhan hidup meningkat dan ditambah kebutuhan kesehatan. Generasi ini adalah jenis generasi sandwich paling umum di Indonesia.


2. The Club Sandwich Generation

Club sandwich generation adalah orang-orang yang diberi beban menafkahi tiga generasi sekaligus, baik generasi di atas maupun di bawahnya. Contoh kasus ini misalnya orang tua yang memiliki anak yang sudah menikah dan kemudian juga punya anak, tapi belum bekerja. Keluarga dengan bentuk seperti ini umumnya mengalami banyak masalah finansial. Selain itu, keluarga dengan generasi sandwich 3 generasi berturut-turut kondisi mentalnya kurang baik, sehingga rentan mengalami broken home.

3. The Open Faced Sandwich Generation

Open-faced sandwich generation adalah orang-orang yang akan menjadi generasi sandwich tradisional di masa depan. Mereka belum menikah, akan tetapi dibebani tanggung jawab menghidupi keluarga dan saudara. Sandwich generation Indonesia saat ini seringkali masuk ke dalam golongan open-faced. Ada banyak dewasa muda di Indonesia yang baru menyelesaikan kuliah harus menghidupi kedua orang tua dan adik-adiknya. Jika tidak ada perbaikan ekonomi, di masa depan para dewasa muda ini akan menjadi generasi sandwich sepenuhnya.

Baca Juga: Puasa Membentuk Konsep Diri  


Apa itu Disonansi Kognitif?


Disonansi kognitif adalah konflik mental yang terjadi akibat keyakinan, sikap, dan perilaku tidak sejalan. Teori disonansi kognitif pertama kali diusulkan oleh Leon Festinger pada tahun 1957. Teori ini ada akibat minat orang-orang yang ingin memahami komunikasi dan pengaruh sosial.

Teori ini hampir sama seperti teori konsistensi kognitif lainnya dimana teori-teori tersebut berdasar pada sebuah pengetahuan umum bahwa kognisi berupa pengetahuan dan kesadaran yang tidak konsisten dengan kognisi-kognisi lain akan menimbulkan keadaan psikologis yang tidak menyenangkan. Keadaan ini mendorong seseorang untuk bertingkah laku agar tercapai konsistensi antara kognisi-kognisi tersebut sehingga menimbulkan keadaan yang menyenangkan (Sarwono, 2009).

Ciri-ciri disonansi kognitif:
  • Mencoba membenarkan atau merasionalisasi keputusan atau tindakan yang telah diambil.
  • Menghindari percakapan tentang topik tertentu atau informasi baru yang bertentangan dengan keyakinan.
  • Melakukan sesuatu karena tekanan sosial meski itu bukan hal yang diinginkan.
  • Mengabaikan informasi yang menyebabkan disonansi.

Baca Juga: Ubah Insecure Menjadi Syukur


Penyebab Disonansi Kognitif
  • Tekanan dari orang lain
Disonansi sering terjadi akibat paksaan atau tekanan dari orang atau pihak lain. Hal ini seringkali terjadi di sekolah, tempat bekerja, atau situasi sosial. Sebagai contoh, melakukan sesuatu di kantor yang tidak sesuai dengan isi hati Anda agar tidak dipecat oleh atasan.
  • Pengambilan keputusan
Membuat keputusan dari dua pilihan seringkali menimbulkan disonansi, karena keduanya sama-sama menarik. Salah satu contoh disonansi kognitif ini, yaitu bila Anda harus memutuskan apakah akan menerima pekerjaan di daerah yang indah atau menolak pekerjaan tersebut agar bisa terus dekat dengan keluarga. Jika sudah memilih, Anda akan mencari argumen yang menguatkan bahwa Anda tidak salah mengambil keputusan
  • Upaya mencapai tujuan
Disonansi bisa terjadi jika Anda sedang berupaya keras untuk mencapai suatu tujuan dan kemudian mengevaluasinya secara negatif. Sebagai contoh, Anda mungkin membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mencapai suatu tujuan. Kemudian Anda menyadari bahwa waktu ini terlalu panjang hanya untuk satu tujuan tersebut. Guna menghindari disonansi ini, Anda meyakinkan diri bahwa Anda tidak menghabiskan waktu dan berpikir bahwa waktu yang telah Anda lalui ini benar-benar sangat menyenangkan.

Baca Juga: Melawan Bullying  

  • Informasi baru
Terkadang mempelajari informasi baru bisa menyebabkan perasaan disonansi kognitif. Misalnya, jika terlibat dalam perilaku yang kemudian Anda pelajari berbahaya, hal itu dapat menyebabkan perasaan tidak nyaman. Seseorang terkadang menghadapi hal ini dengan mencari cara bagaimana membenarkan perilaku atau menemukan cara untuk menghujat atau mengabaikan informasi baru.

Disonansi Kognitif pada Generasi Sandwich


Dari keterangan penyebab disonansi kognitif diatas kita bisa melihat apa yang membuat para generasi sandwich ini merasakan konflik mental pada diri mereka. (1) adanya tekanan dari orang lain dan kebiasaan masyarakat sekitar. Disonansi kognitif yang dirasakan oleh generasi sandwich berawal ketika keadaan ini sering dianggap sebagai kultur, sebab sudah menjadi kewajiban seorang anak untuk berbakti kepada orang tuanya. Mereka harus berbakti kepada orang tuanya dengan merawat dan memberi dukungan finansial di samping harus menanggung beban keluarga sendiri berupa pemenuhan kebutuhan finansial, fisik dan emosional anak-anak mereka. Tak jarang generasi sandwich ini sering mengalami kelelahan fisik dan psikis yang membuat mereka mudah stres hingga sakit karena memiliki beban pikiran yang banyak, terutama memikirkan masalah keuangan.

(2) Pengambilan keputusan. Membuat keputusan dari beberapa pilihan seringkali menimbulkan disonansi, karena harus memikirkan dampak untuk diri sendiri, orang tua, dan anak. Keputusan yang diambil harus tepat dengan melihat kelebihan dan kekurangan keputusan yang diambil. Pilih-pilih antara, misalnya, memenuhi kebutuhan orang tua, diri sendiri, dana untuk membeli rumah, kendaraan, pendidikan anak, atau dana lainnya harus benar-benar tepat.

Baca Juga: Pelajaran Bahasa Indonesia dan Keterampilan C4  


Beberapa dampak yang akan ditimbulkan dari disonansi kognitif pada generasi sandwich ini adalah (1) Tingkat kebahagiaan menurun. Ketika para generasi sandwich ini dihadapkan pada kewajiban untuk mengurus dan menghidupi anak serta orang tuanya, tak jarang mereka akan merasa kewalahan dan merasakan beban yang lebih berat daripada rekannya yang bukan tergolong generasi sandwich. (2) rentan merasa tertekan, karena adanya tuntutan dari dua arah mereka harus memikirkan masalah anak dan orang tua secara bersamaan. (3) kesulitan secara finansial, tidak sedikit yang hidup dengan penghasilan yang pas-pasan dan terjebak dalam generasi sandwich ini. Untuk itu, mereka dituntut agar bisa merencanakan keuangan dengan sebaik mungkin agar tetap dapat mencukupi kebutuhan rumah tangga, orang tua dan juga anaknya

Disonansi kognitif mungkin akan selalu terjadi pada generasi sandwich dan orang-orang pada umumnya, maka dari itu penting untuk mempersiapkan segala kemungkinan tersebut dengan membuat perencanaan, mencari pendapatan sampingan, menyarankan dana pensiun dan asuransi untuk orang tua, melek keuangan dan investasi sejak muda, hingga mengurangi pengeluaran gaya hidup konsumtif. Demikian artikel ini semoga dengan adanya tulisan ini menambah informasi bagi kawan-kawan pembaca dan memberikan banyak manfaat.

Referensi



Biodata: Nila Erdiani merupakan Mahasiswa Program Magister Psikologi Pendidikan Islam UIN Sunan Kalijaga.

Posting Komentar

0 Komentar