Mengenal Lebih Dekat Kurikulum Merdeka Belajar (Bagian 3)


 

GHIRAHBELAJAR.COM, Oleh: Diki Hermawan, S.Pd., M.Ed.(C).*

Wajib Terapkan Project Based Learning, Bagaimana Caranya?


Kurikulum Merdeka Belajar, masih merupakan kurikulum yang bersifat opsional. Diterapkan pada tahun 2022 hingga 2024 untuk selanjutnya dikaji ulang efektivitas penerapannya di lapangan. Kurikulum ini memiliki tiga karakter utama, 1) penerapan profil pelajar Pancasila, 2) penerapan project based learning (PBL), 3) penerapan personalised atau differentiated learning.

Pada Bagian 2 kita sudah bahas tentang karakter pertama dari Kurikulum Merdeka Belajar ini. Lantas pada artikel ini, kita akan bahas bagaimana pemerintah ingin menerapkan karakter kedua dari Kurikulum baru ini. Apakah project based learning yang kita bicarakan memang secerah ekspektasi penerapan pedagogi modern yang kita harapkan? Apakah justru hanya sebatas memberikan jalur lebih leluasa pola-pola neoliberalisasi pendidikan merasuki pendidikan nasional lebih dalam lagi? Kita bahas selengkapnya.

Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Kurikululum Merdeka Belajar (Bagian 2)  


Project Based Learning: Ruh dan Tinjauan Teoritis


Sebelum kita membedah bagaimana pemerintah ingin menerapkan project based learning, selanjutnya kita sebut PBL, kita perlu memahami dulu bagaimana konsep dan ruh sesunggunya dari PBL. Agar kita dapat membandingkan dengan jelas bagaimana niat pemerintah sebenarnya menerapkan PBL di kurikulum baru ini.

PBL sesungguhnya hanyalah sebuah strategi instruksional. Sebuah strategi manajemen pembelajaran. PBL bukanlah sebuah teori yang berdiri sendiri, tak lebih dari sebuah ilmu alat yang berdiri di atas basis teori yang lebih mendasar. PBL memiliki ruh dan berdiri di atas sebuah teori pendidikan bernama, sosial-konstruktivisme. Teori sosial-konstruktivisme ini sebenarnya adalah dasar filosofis utama dari pendidikan abad 21. Tanpa memahami filsafat pendidikan sosial-konstruktivisme, penerapan Project Based Learning tak lebih dari sekadar omong kosong. Kita akan bahas filsafat pendidikan sosial-konstruktivisme lebih dalam di artikel lain.

Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Kurikulum Merdeka Belajar (Bagian 1)  


Secara singkat, filasafat pendidikan sosial-konstruktivisme percaya bahwa semua pengetahuan yang dipelajari oleh seorang anak merupakan hasil dari interkasi sosial yang dialaminya secara nyata dan dibagikan dengan orang lain, bukan merupakan tumpukan hafalan yang disimpannya sendiri. Dalam konteks sosial-konstruktivisme, belajar adalah sebuah proses mendapatkan pengetahuan bersama orang lain, dan membagikannya kepada orang lain.

Orientasi kunci dari sosial-konstruktivisme ini yang harus lekat dipahami oleh para guru sebelum menggunakan PBL sebagai strategi instruksionalnya dalam pembelajaran. Para guru harus memastikan bahwa PBL yang mereka gunakan dapat memfasilitasi siswa untuk secara bersama mendapatkan pengalaman yang memberikan mereka pengetahuan, kemudian membagikannya kepada orang lain lewat karya.

Beragam teori dikembangkan untuk mendeskripsikan benda apa sebenarnya PBL itu. Namun secara umum, pengertian PBL mengacu pada teori dan praktik penggunaan proyek penugasan nyata (real-world work assignment) pada setting waktu terbatas, dengan tujuan untuk mendapatkan tujuan performansi tertentu dan memfasilitasi pengalaman belajar individu serta kolektif siswa (Smith & Dodds, 1997). PBL akan membuat siswa mendapatkan pengetahuan, keterampilan, dan disposisi penting melalui insvestigasi beragam pertanyaan terbuka dan membuat pengalaman bermakna dalam bentuk suatu proyek (Krauss & Boss, 2013).

Baca Juga: Apa Itu Metode Polysynchronous Learning, Student Centered Learning, dan Personalized Learning?  


PBL harus menyediakan siswa dengan sebuah aktivitas berbasis interdisipliner dan student-centred yang mengintegrasikan isu-isu dunia nyara dengan praktik pembelajaran diterapkan dalam suatu periode waktu tertentu. Pendekatan PBL juga sangat mengandalkan peran inisitaif siswa dalam melakukan penghayatan dan interaksi dalam menghasilkan sebuah bentuk pengetahuan baru baginya. (Wong et al., 2006).

Kalau kita bertanya bentuk paling otentik dari student-centred learning, PBL inilah bentuknya. PBL memungkinkan siswa untuk membentuk dan mengembangkan keterampilan dalam merekonstruksi pengetahuan baru ketika mereka berkolaborasi dalam mengembangkan proyek bersama siswa lain, bersama menyelesaikan masalah, memacu mereka untuk bekerja menggunakan pikiran mereka sendiri sambil mengidentifikasi gap antara konten pengetahuan mereka saat itu dengan pengetahuan yang dibutuhkan untuk memberikan solusi yang lebih baik (Helle et al., 2006)

Kita bisa simpulkan, siswa mendapatkan pengetahuan baru melalui pengalamannya menyelesaikan sebuah proyek yang berkaitan langsung dengan isu-isu nyata secara kolaboratif dengan temannya dalam waktu tertentu. PBL harus memicu siswa untuk bekerjasama dan memberi solusi bersama. PBL tanpa pengelaman kaitan dengan isu nyata, kolaborasi, dan solusi hanyalah PBL versi neoliberalis yang hanya dimaksudkan untuk memenuhi gairah kompetisi.

Baca Juga:  Mendikbudristek Canangkan Akselerasi di Sektor Pendidikan, Tapi...


PBL Versi Pemerintah dalam Kurikulum Merdeka Belajar


Sebenarnya kami sudah siap untuk tidak banyak berharap ketika mempelajari versi sebenarnya dari PBL yang direncanakan pemerintah dalam Kurikulum Merdeka Belajar. Benar saja, PBL yang dirumuskan pemerintah dalam Kurikulum Merdeka Belajar, menurut saya, terlalu dangkal dipahami. Pemerintah mendefiniskan PBL sebagai sebuah kegiatan pembelajaran berupa pembuatan produk barang atau layanan jasa yang digunakan sebagai wahana pencapaian kompetensi (Kemendikbud, 2022). Sebuah pemaknaan yang dangkal dari sebuah strategi instruksional yang mengakar pada falsafah sosial-konstruktivisme.

Pemerintah kurang memberi penekanan pada pentingnya kolaborasi dan pengaitan proyek dengan isu persoalan nyata yang dialami siswa. Seolah pemerintah memberikan encouragement kepada para guru untuk sekadar menggunakan PBL untuk menjadi wahana siswa menyalurkan kompetensi kewirausahaannya semata dan berkompetisi dengan siswa lain. Pada titik ini, sebagai seorang pendidik kritis, kita sepakat untuk tidak sepakat dengan orientasi PBL yang semacam itu milik pemerintah.

Baca Juga: Pembelajaran Sejarah Dianggap Membosankan, Guru Sejarah Didorong Kreatif  


Namun, ada sedikit kabar baik, pemerintah menyiapkan sebuah konsep baru di kurikulum baru ini, yang bernama, “proyek penguatan profil pelajar Pancasila”. Bagaimana penerapan nyata dari proyek ini di sekolah? Menarik dibahas karena akan sama sekali berbeda dari bagaimana pembelajaran selama ini dihelat di sekolah. Bahkan penerapan ini bukan hanya berlaku bagi sekolah yang menerapkan Kurikulum Merdeka Belajar, tapi juga yang menerapkan Kurikulum 2013. Sudah siapkah sekolah-sekolah yang masih menerapkan kurikulum lama menerapkan project penguatan profil pelajar Pancasila?

Pemerintah merekomendasikan pembelajaran penguatan profil pelajar Pancasila melalui strategi PBL. Berikut arahan teknis penerapan PBL dalam penguatan profil pelajar Pancasila yang kami rangkum dari Buku Tanya Jawab Kurikulum Merdeka Belajar terbitan Kemendikbudristek:

  1. Satuan pendidikan perlu mengalokasikan waktu agar para guru dapat bekerja secara kolaboratif (lintas mapel) terpisah dari pelaksanaan mata pelajaran;
  2. Guru yang berkolaborasi melakukan perencanaan, memfasilitasi, dan melakukan asesmen terhadap PBL yang dilaksanakan;
  3. Minimal sekolah mengalokasikan waktu dua kali per tahun pelajaran untuk melaksanakan PBL penguatan profil pelajar Pancasila, dan pengalokasian ini wajib dimasukkan dalam kurikulum operasional satuan pendidikan;
  4. Konten yang diimplementasikan dalam PBL penguatan profil pelajar Pancasila adalah seputar enam dimensi profil pelajar pancasila beserta turunannya. Dimensi profil pelajar Pancasila sudah kami bahas pada artikel sebelumnya;
  5. Pada satuan PAUD, PBL penguatan profil pelajar Pancasila dilakukan secara terintegrasi ketika aktivitas bermain belajar, dilakukan selama minimal dilakukan pada setiap perayaan hari besar nasional dan tradisional di daerah, serta konten pembelajaran pada satuan PAUD ditentukan oleh pemerintah secara berkala.

Baca Juga: Kuatkan Nasionalisme Pelajar Lewat Minimap Ragam Budaya


Berdasarkan instruksi tersebut, kita lihat bahwa pemerintah belum sepenuhnya menginstruksikan PBL yang terintegrasi pada setiap mapel. Pemerintah hanya menginstruksikan agar PBL diterapkan pada alokasi waktu khusus di luar mata pelajaran, dan dilakukan secara kolaboratif lintas mata pelajaran.

Menurut kami, langkah PBL yang diterapkan pemerintah masih terlalu nanggung. Padahal pemerintah sendiri yang menyatakan bahwa salah satu karakter utama Kurikulum Merdeka Belajar adalah penguatan implementasi PBL. Kami menganggap, bahwa sebaiknya Pemerintah melakukan encourage yang lebih besar untuk menerapkan PBL dengan sebenar-benarnya di setiap pelajaran secara sistematis di kurikulum operasional setiap satuan pendidikan. Itupun jika pemerintah bersungguh-sungguh ingin mewujudkan sebuah student-centred learning dan pendidikan modern abad XXI.


Biodata: Diki Hermawan, S.Pd., M.Ed.(C). Sarjana Pendidikan Bahasa Indonesia, FKIP UHAMKA, Jakarta. Lulusan terbaik FKIP UHAMKA Tahun 2018. Kader PK IMM FKIP UHAMKA. Master Candidate of Education Science at Institute Psychology and Education, Kazan Federal University, Republic Tatarstan, Russian Federation. Saat ini Ketua PCIM Rusia 2019-2022.

Posting Komentar

0 Komentar