Kesadaran Gender di Dunia Barat dan Arab


 

GHIRAHBELAJAR.COM, Oleh Ilham Solihin

Kesadaran gender merupakan kesadaran dan pemahaman akan perbedaan peran dan hubungan antara perempuan dan laki- laki secara sosial. Adapun yang ada pada pembagian peran antara laki-laki dan perempuan bukan sesuatu yang rigid atau kaku, namun pada tahap ini dapat dikonstruksi dengan sedemikian rupa hingga dapat diubah secara sosial. Hal ini senada berdasarkan apa yang disampaikan oleh Lies Marcoes yaitu relasi gender tidak terbatas hanya karena hukum biologis antara laki-laki dan perempuan namun juga terdapat pada relasi sosial antara laki-laki dan perempuan.

Jika membicarakan tentang gender dalam konteks dan wacana yang bersinggungan dengan Islam yang sering mendapat tudingan kebarat-baratan, tudingan tersebut bermula pada kata gender yang berasal dari Barat dengan timbulnya kesadaran pada perbedaan yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan secara sosial yang lahir pada dunia Barat. Namun jika membuka pandangan lebih jauh maka akan terlihat bahwa kesadaran gender juga bermunculan beriringan dengan bahasa Arab yang semakin aktif dalam mengkonstruksi pemikiran.

Dunia Arab melihat lebih jauh tentang kesadaran gender dan tidak terbatas dengan penentuannya pada konsep yang terbentuk oleh kelas sosial, Jika dilihat pada keluasan tentang bahasa Arab, justru akan terlihat pada konsep yang ada pada penggunaan bahasa Arab disehari-harinya, ketika bahasa Arab diperkaya oleh mufradat dengan aturan bahasa yang diatur dengan ilmu nahwu dan sharaf yang membahas lebih rincinya pada pembagian mudzakar dan muannats yang ada pada setiap kata benda, kerja, ganti, sambung, sifat, dan tunjuk. Bahkan lebih dari sekedar penamaan pada sesuatu yang hidup dan yang bersifat biologis akan tetapi juga berada pada benda mati, maka dalam konteks ini mudzakar dan muannats sebagai simbol pembeda antara laki-laki dan perempuan pada bahasa Arab.

Adapun istilah gender konon katanya baru mulai bermuara pada abad ke-20, ketika dunia diajak untuk mulai memikirkan lebih dalam akan kesadaran gender dengan mulai membedakan laki-laki dan perempuan bahkan lebih dari sekedar perbedaan secara biologis namun juga perbedaan pada kelas sosial yang disebut dengan gender. Sedangkan dalam pengaruh dan peran yang dibawa Islam telah terdapat sistem gender bahkan jauh sebelum gender itu sendiri mulai merambak kebelahan dunia. Namun tentunya kata gender ini sendiri memang sangat berpengaruh dalam mengguncang dunia untuk menyuarakan kesadaran gender, kata gender yang berasal dari Barat telah menjadikan dunia lebih sadar akan pentingnya pemahaman gender yang tidak hanya terbatas pada takdir Tuhan yang menentukan perbedaan biologis, namun terdapat juga perbedaan yang berasal dari manusia itu sendiri yang berisikan tentang gender.

Berdasarkan pernyataan yang ada pada konsep tersebut dapat diketahui bahwa Barat lebih dulu memperluaskan kata gender namun tidak dapat dikesampingkan bahwa kesadaran tentang gender telah ada dan bahkan terasa lebih ketat, dengan memberikan pembedaan tentang laki-laki dan perempuan secara sosial. Kesadaran gender yang mengakar pada masyarakat secara umum yaitu hanya sekedar bentuk pembeda antara laki-laki dan perempuan namun untuk kesadaran secara nurani dan akal untuk membedakannya tidak semua isi kepala sama.

Kesadaran Gender di Dunia Barat


Feminisme yang semakin hari dianggap memiliki stigma yang cukup buruk belakangan ini. Padahal fakta yang ada pada feminism yang justru memiliki arti yang lebih dalam dari stigma yang beredar. Saat ini feminism justru dianggap seperti sebuah pemahaman yang berusha mengkaburkan tentang pandangan untuk menggulingkan para maskulin, hingga mencuatlah sebuah celotehan yang berisikan “Benarkah feminisme ingin menindas kaum laki-laki?”. Feminisme yang pada dasarnya bermakna sebuah reaksi dari sekumpulan orang atau sekelompok orang yang menolak maskulinitas yang memuja superior.

Munculnya stigma yang mengatakan kalau feminisme hanya menginginkan suara agar derajat perempuan terhadap laki-laki lebih tinggi, superior, dan maha diatas laki-laki. Justru pemahaman ini ada sebuah kesalahan besar. Adapun para feminis yang hanya ingin suaranya didengar agar keadilan yang nyata untuk semua gender benar ada bukan sebuah dongeng sebelum tidur. Upaya yang dilakukan oleh gerakan ini yaitu berusaha untuk menekan pemahaman dan kepasrahan tentang sistem patriarki. Adapun patriarki itu sendiri merupakan sebuah sistem yang menjadikan kaum otoritas laki-laki yang cenderung suka menindas perempuan melalui institusi sosial, politik, dan ekonomi. Dalam arti yang lebih bermakna yaitu laki-laki dianggap memiliki akses dan keuntungan yang lebih besar daripada perempuan disegala bidang dan pemikiran.

Sejarah Gerakan Feminisme Barat


Pada zaman Yunani dan Romawi Kuno sebenarnya telah mulai memunculkan gerakan feminisme namun gerakan ini bergerak secara diam-diam atau juga dapat dikatakan bergerak tapi tidak secara terang-terangan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Plato yang telah menuliskan konsepnya kedalam buku yang membicarakan tentang Republik, dimana dikatakan bahwa perempuan juga dapat berpartisipasi sepenuhnya sebagai warga negara. Hal ini juga yang menjadikannya sebagai feminis laki-laki pertama. Namun dari hal tersebut masih menujukkan pada beberapa pemikirannya terhadap perempuan masih memiliki kecacatan atau tidak sempurna. Feminisme yang berkembang di biara telah muncul pada abad pertengahan. Adapun gerakan ini digerakkan oleh para biarawati yang menolak hierarki dan dominasi di gereja dengan perspektif maskulin. Para perempuan kemudian membentuk suatu komunitas yang saling memberi dukungan satu sama lain.

Pada 1405, seorang Filsuf Prancis, Christine de Pizan, menulis buku yang berjudul The Book of The City of Ladies. Buku ini menggambarkan masyarakat utopis yang menempatkan perempuan memiliki kebebasan layaknya laki-laki. Selain de Pizan, terdapat pula Marie de Gournay, yang menulis buku The Equality of Men and Women (1622) dan menjadi titik mula pemikiran mengenai equal rights. Masa Renaissance juga memunculkan berbagai tokoh perempuan. Olympe de Gouges adalah salah satunya, ia merupakan aktivis HAM dan seniman Prancis yang menulis Declaration of The Rights of Women and The Female Citizen (1791). de Gouges menikah pada umur 17 tahun.

Ia telah banyak menulis mengenai berbagai macam pemikiran yang bergerak pada bidak politik terutama yang membahas tentang penolakannya terhadap perbudakan, hak perceraian, dan isu sosial. Ia juga yang telah menciptakan sebuah konsep yang berwujud “Bon Mot”, konsep ini membahas mengenai perempuan yang memiliki hak kedalam kegiatan politik. Namun, pada kritikannya yang diangga garis keras terhadap rezim Robespierre justru yang membuatnya harus dihukum mati. Kemudian pula Mary Wollstonecraft yang merupakan seorang Filsuf Inggris yang datang ke Revolusi Prancis dalam upaya untuk menyuarakan pendapatnya. 

Begitu pula yang dipaparkan oleh Wollstonecraft dengan memberikan kritikan dan pemikirannya tentang perempuan, bahwa seorang perempuan harus bergantung pada laki-laki. Kemudian tidak berhenti disitu, ia juga memberikan hasil pemikirannya yang kuat dalam mengkritik pemikiran Filsuf Prancis, J.J. Rousseau, dimana disitu dia membahas mengenai perempuan yang diciptakan untuk membantu dan membuat senang laki-laki.

Isu-Isu Awal Gerakan Perempuan Barat


Pada awal tahun 1800-an muncul sebuah isu yang cukup sering dibahas, isu tersebut berisikan tentang diskriminasi pada gender dan kelas sosial. Hal ini menyebabkan pemikiran mengenai harapan kaum perempuan tentang kesetaraan dan kehidupan yang layak. Kemudian dalam sebuah gerakan yang dinamai Gerakan Saint-Simonism, dalam gerakan ini banyak menyampaikan kritik dan pertanyaan mengenai persoalan gender, kemudian dengan mulai membagikan pemikiran yang ada, pemikiran terssebut berisi suara kesetaraan yang tidak akan pernah terjadi jika perempuan selalu diwakili oleh laki-laki.

Penulis The Worker’s Union (1843), Flora Tristan, memiliki ide kalau pekerja perempuan dan laki-laki harus memiliki kesempatan profesional yang sama. Tristan menolak opresi terhadap kaum perempuan dan proletar. Terdapat pertemuan besar pertama, yaitu Seneca Falls Convention yang digelar pada 1848 di Seneca Falls, New York. Pertemuan ini membahas mengenai hak perempuan dan keadilan gender. Pertemuan yang dihadiri oleh 300 peserta ini menghasilkan Declaration of Rights and Sentiments. Sojourner Truth, seorang pekerja kulit hitam yang hadir pada Konvensi Hak Asasi Wanita Ohio pada 1851, mengkritik gerakan perempuan pada era tersebut yang cenderung berpihak pada ras dan kelas tertentu. Karena hal itu, ia lantas bertanya: ain’t I woman?

Setelah munculnya berbagai gerakan dan isu-isu perempuan pada dunia Barat yang kemudian hadir dan menjadikannya kedalam gelombang feminisme hingga memunculkan berbagai teori yang membahas tentang feminisme. Adapun yang terukir pada sejarah dan isu pada perempuan menjadi hal penting dalam kemunculan teori feminisme yang tidak dapat dilupakan. Karena melalui sejarahlah, kita dapat dengan jelas mengikuti mengetahui bagaimana arus perjuangan yang ditempuh untuk meraih untuk meraih keadilan. Karena tekad dan perjuangannya yang gigih, serta semangat perjuangan dilakukan secara kolektif menjadikan hal yang tidak mungkin sekalipun dapat menjadi mungkin.

Kesadaran Gender di Arab


Dalam tutur kata yang dibawakan oleh orang Arab dalam merefleksikan gender pada setiap kata-kata yang digunakan didalamnya. Dengan menggunakan mudzakar dan muannats sebagai manifestasi dari gambaran tentang gender yang diperkenalkannya kedalam bahasa sehari-hari. Berdasarkan pernyataan tersebut telah menunjukkan bahwa dalam kesadaran gender yang ada pada bangsa Arab telah ada sejak bahasa Arab tersebut ada. Namun, relasi gender yang ada pada bahasa Arab terasa cukup bias karena dapat mengalami perubahan dengan menyesuaikan kalimat di dalamnya.

Kemudian kesadaran gender juga tertuang kedalam ajaran agama Islam, sebagaimana Allah Swt. yang telah menegaskan bahwa keadilan Islam tertuju dan hadir untuk laki-laki dan perempuan. Namun sungguh sebuah hal yang disayangkan karena keadilan gender terkadang cenderung mengalami pengaburan konsep yang menjadikannya seperti penyalahan arti dan konsep yang kemudian berubah pada tindakan yang menjadikan keadilan gender semakin tumpul terhadap laki-laki dan tajam untuk perempuan.

Laki-laki dan Perempuan Sebagai Hamba


Yang menjadi salah satu tujuan dari penciptaannya manusia yaitu untuk menyembah kepada Tuhan, hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam QS. alZariyat: 56 artinya sebagai berikut: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”

Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan karena siapapun yang banyak amal ibadahnya, maka itulah yang akan mendapat pahala yang besar tanpa harus melihat dan mempertimbangkan jenis kelaminnya terlebih dahulu. Adapun keduanya memiliki potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba yang ideal. Adapula dalam rencana yang tertuang untuk menjadi hamba yang ideal telah termaktub di dalam Al-Qur’an yang telah dikenal dengan sebutan orang-orang yang bertaqwa (muttaqûn), sedangkan untuk mencapai derajat muttaqûn atau yang termasuk kedalam orang-orang yang bertawa ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau kelompok etnis tertentu.

Laki-laki dan Perempuan Sebagai Khalifah


Kemudian tentunya terdapat maksud dan tujuan dari adanya penciptaan manusia dimuka bumi ini, disamping untuk menjadi hamba (âbid) yang tunduk dan patuh serta mengabdi kepada Allah Swt., akan tetapi juga adanya tugas untuk menjadi pemimpin atau khalifah di bumi (khalifah fî al-ard). Dalam kapasitasnya, manusia yang memang ditakdirkan sebagai khalifah di bumi ini telah ditegaskan di dalam QS. al-An’am: 165, yang artinya sebagai berikut: “Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Adapun jika merujuk pada kata khalifah yang terdapat di dalam ayat tersebut tidak menunjuk kepada salah satu jenis kelamin atau kelompok etnis tertentu. Yang artinya antara laki-laki dan perempuan memiliki fungsi dan tugas yang sama sebagai khalifah di bumi, laki-laki dan perempuan sama dan setara di hadapan Tuhan yaitu yang berbasis sebagai hamba yang akan mempertanggungjawabkan segala amal dan perbuatannya ketika di akhirat kelak.

Laki-laki dan Perempuan Menerima Perjanjian Primordial


Laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanah dan menerima perjanjian primordial dengan Tuhan. Seperti diketahui, menjelang seorang anak manusia keluar dari rahim ibunya, ia terlebih dahulu harus menerima perjanjian dengan Tuhannya, sebagaimana disebutkan dalam QS. al-A’raf: 172 artinya sebagai berikut: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).

Menurut Fakhr al-Razi, tidak ada seorang pun anak manusia lahir di muka bumi ini yang tidak berikrar akan keberadaan Tuhan, dan ikrar mereka disaksikan oleh para malaikat. Tidak ada seorang pun yang mengatakan “tidak”. Dalam Islam, tanggung jawab individual dan kemandirian berlangsung sejak dini, yaitu semenjak dalam kandungan. Sejak awal sejarah manusia. Dengan demikian dalam Islam tidak dikenal adanya diskriminasi jenis kelamin. Laki-laki dan perempua sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang sama.

Posting Komentar

0 Komentar