Oase: Bagaimana Bila Tanpa Buku


GHIRAHBELAJAR.COM – Oleh Ahmad Soleh

Big Bad Wolf adalah salah satu event buku besar yang menyajikan reragam buku dari dalam dan luar negeri. Selama pandemi dua tahun belakangan ini sudah beberapa kali gelaran BBW saya lewatkan. Tahun ini, beberapa pekan kemarin, saya sempatkan mampir di BBW yang digelar di BSD, Tangerang.

Dulu, sewaktu masih mahasiswa memang saya dan kawan-kawan sekosan sering berburu buku di bazar. Tujuannya, selain mencari referensi juga untuk dijual kembali. Harga-harga miring dengan diskon berlimpah menjadi pemicu kami rajin berburu buku.

Kini, belanja buku bukanlah tujuan utama saya menghadiri event bazar buku itu. Melihat bagaimana buku-buku dijajakan di atas rak-rak bazar entah mengapa begitu menyenangkan. Namun, di sisi lain, ada perasaan khawatir yang saya rasakan saat melihat riuhnya ruangan berhampar buku-buku dan ratusan para pencinta buku itu.

Salah satunya ialah soal harga buku yang kian melonjak. Bahkan, di bazar buku sekalipun harganya masih cukup tinggi dengan diskon kebanyakan hanya 10-15 persen saja. Memang ada banyak buku yang dibanderol murah meriah. Tapi dibandingkan BBW tahun-tahun dulu, BBW kali ini saya rasa terlalu banyak buku yang dibanderol cukup mahal—khususnya buku-buku terbitan penerbit dalam negeri, seperti Mizan, Kobam, Diva Press, Republika, dll.

Banyak orang berseliweran, tampak mereka berasal dari berbagai kalangan dan kategori usia. Tidak sedikit orang tua yang membawa balita untuk mencari buku-buku anak dan permainan edukasi yang tersaji di pasar buku itu. Ini upaya yang baik untuk menanamkan kecintaan anak terhadap buku—dan lebih luas: literasi.

Sebagian besar pengunjung ialah mereka yang masih usia pelajar dan mahasiswa. Beberapa dari mereka tampak memilah-milah buku, lalu memasukkannya ke keranjang atau troli. Sesekali tampak juga mereka yang sedang menyisihkan buku-buku di dalam keranjang untuk ditaruh kembali ke tumpukan rak. Mungkin uang mereka tak cukup untuk membayar semuanya. Atau, ada prioritas untuk membeli buku lainnya. Entahlah.

Mahalnya harga buku memang masih menjadi problem bagi peningkatan kualitas literasi kita. Ditambah lagi, biaya produksi yang terus meningkat, sehingga sulit rasanya para produsen buku untuk menurunkan harga. Di sisi lain, teknologi informasi yang juga turut menggerus dunia perbukuan. Kebanyakan kita lebih banyak membaca dari gadget.

Memang, kini buku bisa dinikmati di gadget. Buku-buku digital atau e-book cukup praktis dan bahkan lebih murah dibandingkan membeli buku cetak. Namun, menurut saya, membaca buku cetak jauh lebih menyenangkan. Tidak terbatas oleh kapasitas baterai dan kuota internet. Kapan pun dan di mana pun, buku cetak selalu nyaman dibaca.

Bagaimana bila kita hidup tanpa buku-buku? Bila buku adalah sumber pengetahuan, dari mana lagi kita dapat menimbanya saat sumber itu telah pupus dan tergerus. Bila buku adalah suluh peradaban, bisa kita bayangkan bagaimana peradaban akan gelap dan dingin tanpa kehadirannya. Bagi saya, buku cetak masih menajdi pilihan yang utama. Namun, harganya yang lebih mahal dibanding kuota internet memang cukup meresahkan. Sungguh dilema.

Posting Komentar

0 Komentar