Pohon Jati dan Air yang Memancur


GHIRAHBELAJAR.COM - Oleh Ahmad Soleh

Sejak kecil saya sudah tinggal di Jakarta, diajak merantau oleh orang tua saya yang berjualan bambu di Jakarta Barat. Padahal, saya lahir di Cirebon, tepatnya Kampung Jatimekar, Desa Jatipancur, Greged, Kabupaten Cirebon. Ya, saya putra asli Cirebon. Meski sejak kecil sampai lulus SD saya di Jakarta, entah mengapa kerinduan pada kampung halaman selalu ada.

Dulu, waktu masih kecil, saya selalu menantikan waktu libur sekolah. Karena pada waktu-waktu itulah saya bisa berlibur ke kampung halaman. Momen lainnya adalah saat Lebaran atau ketika ada agenda ziarah ke Masjid Gunung Jati. Bapak selalu mengajak saya dan ibu saat melakukan ziarah ke situs-situs bersejarah.

Selalu menyenangkan, meskipun harus bangun tengah malam dan pulang malam hari. Pasalnya, ketika berziarah banyak hal yang bisa saya perhatikan di jalan maupun di tempat ziarah. Mulai dari masyarakatnya sampai produk dagangan yang unik dan khas.

Kembali ke cerita kampung halaman. Tempat saya lahir itu bernama Desa Jatipancur. Saya tidak tahu apa makna nama desa yang merupakan pecahan dari Desa Durajaya pada 1982 itu. Oh iya, sebelumnya Desa Jatipancur masuk ke Kecamatan Beber. Hingga pada tahun 2000-an, Kecamatan Beber dimekarkan menjadi dua, Kecamatan Beber untuk wilayah sebelah barat dan Kecamatan Greged untuk wilayah sebelah timur.

Pernah ada yang bercerita kepada saya, entah ini benar atau tidak, bahwa nama Jatipancur berasal dari dua kata, yakni “jati” dan “pancur”. Jati karena dahulunya konon di desa itu banyak pohon jati. Kemudian kata pancur merujuk pada sumber air yang memancur. Entah sumber air mana yang dimaksud. Akan tetapi, sewaktu saya kecil memang di kampung halaman itu terdapat beberapa titik sumber mata air alami yang airnya sangat jernih dan tidak pernah kering.

Keduanya berada di dekat rumah saya. Yang pertama sumber air Ciloa. Di sana terdapat pohon besar yang mungkin sudah berusia ratusan tahun, di bawahnya memancur sumber mata air. Mata air Ciloa tidak pernah kering meskipun cuaca sedang kemarau. Sehingga, warga berinisiatif untuk membuat semacam kolam dan pancuran di bawah pohon besar itu. Saya lupa pohon apa namanya, yang pasti saat ini pohonnya sudah tidak ada, begitu pun mata airnya.

Di mata air Ciloa yang juga berdampingan dengan sungai kecil, biasanya ramai gadis-gadis desa mencuci baju saat pagi hari. Sorea harinya ramai anak-anak mandi dan terkadang ada juga warga kampung yang pulang dari ladangnya mampir untuk membersihkan diri. Suasana yang sangat saya rindukan. Sayangnya sekarang hal itu sudah tidak ada. Pohonnya tumbang, mata airnya pun ikut surut.

Mata air kedua terdapat di Ciwuni. Ciwuni itu setahu saya merupakan nama blok atau kampung di Desa Jatipancur. Di kampung itu melintas sebuah aliran sungai yang kemudian dikenal dengan Sungai Ciwuni. Sungai ini memang hanya ada airnya saat hujan saja, tapi airnya sangat jernih dan tampilan sungai yang estetik membuatnya menjadi tempat anak-anak gemar mandi sore. Berenang di sungai yang jernih selalu menyenangkan. Di dekat sungai itu terdapat mata air yang mengucur dari tebing-tebing tepi sungai. Memang mata airnya tidak besar, tapi airnya selalu mengalir.

Selain kedua mata air itu, yang masih berhubungan dengan air di Jatipancur juga ada curug atau air terjun kecil yang sering menjadi tempat wisata lokal bagi warga kampung. Sayangnya, semenjak populasi penduduk bertambah dengan kesadaran menjaga alam yang rendah, sungai maupun curug tidak lagi nyaman. Banyak sampah mengambang di setiap aliran sungai. Air sungai meskipun tampak jernih, tetap tidak bisa dipakai untuk mandi atau berenang lagi. Karena sampah yang sudah tidak lagi terkendali.

Posting Komentar

0 Komentar