GHIRAHBELAJAR.COM - Oleh: Puspita Sari, Siswa SMK Nurul Islam Jakarta kelas XI MP 2
Pertemanan dimulai saat aku menginjak usia delapan tahun, kala itu aku baru saja pindah ke sekolah lain untuk sementara waktu karena sekolahku sedang direnovasi, dan aku juga baru saja masuk ke pondok tahfidz. Saat memulai hari-hariku di pondok tahfidz, aku mengikuti kegiatan belajar dan mengaji dengan baik, namun aku belum memiliki teman karena aku belum cukup percaya diri untuk bergaul dengan yang lain.
Aku masih menjalani hari-hariku sendiri, hingga suatu hari ada seseorang yang menghampiriku dan bertanya, "Ta, kamu sudah hafal Q.S Al-Baqarah sampai ayat berapa?" ucapnya dengan wajah ceria. Aku menjawab dengan tenang lalu ia memperkenalkan dirinya sebagai Fatimah.
Sampai yang menyangka, ternyata Fatimah juga bersekolah di sekolah itu menumpang untuk sementara dan ia juga les di tempat yang sama denganku, sejak saat itu, hari-hariku di pondok menjadi lebih berwarna. Di sekolah kami tidak memiliki waktu untuk berkomunikasi, tetapi saat di tempat les kami saling membantu belajar, mengerjakan soal dan tugas. Begitu juga saat di pondok, kami saling membantu murojaah, membantu belajar fikih, kitab, menghafal surat, menghafal hadits, dan yang lainnya.
Fatimah merupakan sosok yang sabar, rajin, dan selalu mengajak sholat saat sudah memasuki waktunya dan mengingatkan untuk tetap ikhlas dalam menghafal Al-Qur'an. Kadang kami tertawa karena salah membaca ayat, kadang kami menangis bersama saat merasa lelah, tetapi saling menguatkan agar tidak menyerah.
Setiap kali aku ingin berhenti, Fatimah selalu berkata lembut, "Kalau kita lelah, berhenti sebentar enggak apa-apa, Ta. Tapi jangan berhenti selamanya. Karena menghafal Quran itu bukan lomba, melainkan perjalanan menuju ridha Allah." Kalimat itu selalu menenangkan hatiku.
Namun, waktu berjalan cepat. Saat aku berusia sebelas tahun, aku harus pindah sekolah, pindah pondok, bahkan pindah tempat les. Hari perpisahan itu terasa berat. Untuk terakhir kalinya tempat di mana kami belajar, tertawa, dan berbagi mimpi bersama. Saat hari terakhir itu tiba, Fatimah menghampiriku sambil membawa mushaf kecil, "Ini untuk kamu, Ta," katanya pelan.
"Supaya kamu tetap semangat menghafal, walau tidak di sini lagi." Aku menerima mushaf itu dengan menahan air mata. Ia tersenyum.
"Nanti kalau kita sama-sama hafal tiga puluh juz, kita ketemu lagi di surga, ya?" Aku pun mengangguk. Bagiku kalimat itu begitu sederhana, tapi sangat membekas di hatiku.
Kini, bertahun-tahun telah berlalu. Aku sudah tumbuh, menapaki jalan baru, bertemu teman-teman baru. Namun setiap kali aku membuka mushaf kecil itu, ada kenangan yang tidak pernah pudar, tentang seorang teman yang mengajarkanku arti persahabatan karena Allah, bukan karena dunia.
Di tengah hiruk pikuk dunia, aku masih mengingatnya sahabat kecilku yang menuntunku untuk mengejar akhirat dengan hati yang tulus.

0 Komentar