Ide Dasar Socio-Constructivism, Filosofi Pendidikan Modern


 

GHIRAHBELAJAR.COM, Oleh Diki Hermawan*

Pendidikan Indonesia sudah memasuki fase lanjut dari perkembangannya. Setelah di fase pertama, fokus untuk membangun kesadaran dan persatuan nasional sebagai bangsa yang merdeka; fase kedua, fokus untuk menyembuhkan luka bekas menjadi bangsa yang terjajah seperti buta huruf, inferioritas, dan sebagainya; fase ketiga, meningkatkan kompetensi untuk dapat bersaing sebagai bagian dari masyarakat global seiring dengan pergerakan zaman di era globalisasi abad 21.

Tentu saja, munculnya era baru abad 21 ini adalah kesempatan bagi kita untuk menutup gap dari fase kedua yang terjadi terlalu lama. Namun, kita tentu tidak dapat mendidik di era abad 21, dengan cara abad 20. Apalagi dengan memelihara mentalitas warisan penjajahan, inferioritas dan feodalisme. Anak-anak abad 21, Generasi Milenial, Z, Alfa, dan seterusnya, tidak bisa kita didik dengan metode abad 20. Untuk itulah, penting bagi kita untuk juga mempelajari wujud dan esensi sebenarnya dari pendidikan abad 21.

Sebelum lanjut membaca artikel ini, baca artikel sebelumnya: Mengenal Lev Vygotski dan Falsafah Socio-Constructivism


Sebagai upaya mendorong transformasi pendidikan abad 21 di Indonesia, perlu kita memastikan bahwa kita sudah memahami landasan filosofis dari paradigma pendidikan abad 21 ini. Jika kita mengklaim, bahwa diri kita adalah pendidikan abad 21, kita perlu memastikan kita sudah berdiri dengan kuat di atas landasan filosofis ini. Landasan ini bernama, social-constructivism.

Siapkah Kita Berubah?


Ketika kita memilih untuk bertransformasi menerapkan pendidikan abad 21, kita harus siap untuk mengubah banyak hal. Pada pendidikan abad 21, anak-anak tidak lagi dididik untuk belajar memahami sesuatu, lalu menjadi pintar dan pada akhirnya sukses hanya untuk dirinya sendiri saja. Paradigma pendidikan abad 21 adalah mendidik siswa untuk belajar memahami suatu hal, kemudian menjadi cerdas dan baik karena proses belajar dan bergaul bersama orang lain, lalu pada akhirnya bisa menjadi sukses bukan untuk dirinya sendiri, tapi juga berdampak bagi masyarakat.

Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Kurikulum Merdeka Belajar  


Karena dalam pendidikan abad 21, proses pembelajaran seorang anak tidak berasal dari dirinya sendiri dan gurunya semata. Namun, dari proses pengalaman sosial yang dialaminya bersama orang lain. Mereka adalah teman sebaya, keluarga, dan orang-orang yang anak sengaja temui di manapun ketika mengerjakan sebuah pembelajaran berbasis proyek atau problem. Lalu ketika seorang anak dapat memahami sesuatu karena mengalaminya bersama orang lain, maka pada muaranya, kesuksesannya pun mesti dirasakan oleh orang lain. Sehingga dalam paradigma pendidikan abad 21 ini, kata kompetesi justru harus ditenggelamkan, diganti dengan kata kolaborasi yang harus diterbitkan sebagai surya baru pendidikan abad 21.

Pada pendidikan abad 21, anak-anak tidak lagi berkompetisi untuk menjadi yang terbaik dalam mempelajari suatu subjek atau bahkan semua subjek dengan standar, cara belajar, dan cara evaluasi tertentu. Pada pendidikan abad 21, anak-anak memiliki zone of proximal development-nya sendiri, memiliki karakteristik dan kecepatan belajarnya sendiri. Hal yang sama personalnya dengan jenis kepribadian dan karakteristik psikologisnya.

Dan peran guru dalam pendidikan abad 21 ini bukanlah memasukkan ilmu ke kepala anak-anak. Apalagi menyuntikkan serum untuk membuat mereka menjadi manusia super. Peran guru adalah mendesain sebuah lingkungan belajar yang komplit. Lingungan belajar yang sehat, utuh, dan mampu menunjang berlangsungnya proses berpikir yang kritis, kreatif, dan dinamis.

Baca Juga: Unduh Materi PDF Kurikulum Merdeka  


Sehingga pada lingkungan belajar yang komplit itulah, terjadi proses belajar, proses pendidikan. Lingkungan belajar yang komplit itu kini tidak dibatasi oleh tembok sekolah. Justru pembelajaran modern mendorong guru untuk banyak melakukan aktivitas di luar kelas sebagai proses pembelajarannya. Pada lingkungan belajar itulah setiap anak dapat belajar di dalamnya, untuk memahami dirinya sendiri, untuk menjadi dirinya sendiri, dan sebagai dirinya sendiri, serta pada akhirnya bermanfaat kepada sesamanya. Proses inilah yang sejatinya, social-constructionalism.

Tinjauan Teoritis Social-constructivism


Basis teori dari social-constructivism, berangkat dari akar yang sama, constructivism. Paradigma ini dikembangkan lebih lanjut oleh tiga orang ahli; Piaget, menjadi Cognitive-constructivism, Vygotsky, menjadi social-constructivism, dan Dewey, menjadi learning by doing.

Karakteristik ketiganya sama. 1) percaya bahwa suatu konsep pengetahuan tentang hal tertentu dikonstruksi sendiri oleh seorang anak, bukan diserapnya dari orang lain. 2) percaya bahwa proses konstruksi tersebut terjadi akibat adanya aktivitas dan pengalaman belajar yang nyata dialaminya. 3) pengalaman tersebut berbeda-beda antar seorang anak dengan anak lain.

Kita fokus pada Social-constructivism yang dikembangkan oleh Lev Vygotsky melalui teori developmentalisme. Vygotsky percaya, bahwa para siswa mengonstruksi pengetahuannya melalui interkasi dan pengalamannya dalam aktivitas sosial bersama para guru dan teman-temannya. Anak-anak akan memampu menyusun pemahaman yang lebih baik dalam suatu topik ketika mereka bekerja sama dengan siswa lain, menyelesaikan suatu proyek dan tugas, serta berdiskusi bersama anak-anak lainnya.

Baca Juga: Realitas Pendidikan di Indonesia, Efektif atau Formalitas?  


Pengetahuan menurut Vygotsky bukanlah suatu hasil dari proses yang sepi. Pengatahun merupakan hasil konstruksi proses hidup bersama orang lain. Sekalipun pada siatuasi tertentu membutuhkan perenungan, namun hal yang direnungkan itu sendiri pun adalah interaksi kehidupan sosial bersama orang lain.

Social-constructivism mengajarkan kita bahwa pengetahuan akan menjadi bermakna dan dipahami dengan baik bila dihasilkan melalui sebuah proses sosial. Hasil interaksi sosial, penggunaan bahasa, dan aktivitas bersama. Social-constructivism juga mengajarkan bahwa pengetahuan akan semakin dipahami apabila dibagikan kepada orang lain, pengetahuan adalah milik bersama, bukan milik pribadi. Namun pemahaman tentang pengetahuan tersebut dapat dikonstruksi secara berbeda oleh setiap orang untuk dirinya sendiri.

Ide dasar tentang pendidikan berbasis socio-constructivism dapat kita baca pada karya Vygotsky, Educational Psychlogy. Di dalamnya, Vygotsky mengetengahkan sebuah teori yang sangat fundamental tentang pendidikan, yang dianggapnya sebuah proses yang didasarkan pada aktivitas anak. Vygotsky juga menilai, seninya pendidikan adalah sebuah proses melakukan guiding and mentoring terhadap aktivitas-aktivitas anak tersebut.

Dari sudut pandang psikologis, Vygotsky berpendapat bahwa guru adalah seorang sutradara dalam sebuah lingkungan sosial terekayasa di dalam kelas. Guru juga bertanggungjawab menyutradari hubungan yang terjadi antara aktivitas yang dilakukan siswa dengan proses pembelajaran yang didapatkannya dari aktivitas tersebut.

Baca Juga: Pelajaran Bahasa Indonesia dan Keterampilan C4  


Vygotsky mewariskan dalam paradigma socio-constructivism nya, bahwa lingkungan sosial adalah jantungnya proses pendidikan. Dan menjadi kewajiban seorang guru untuk tetap memacu agar jantung tersebut tetap berdenyut dengan baik. Sekolah yang tidak dapat mewujudkan sebuah lingkungan sosial yang baik di dalamnya, adalah sekolah yang mati jantungnya. Dan sekolah yang mati jantungnya adalah sekolah yang guru-gurunya gagal melaksanakan kewajiban mereka.

Sehingga bila kita simpulkan, peran guru dalam socio-constuctivism adalah sebagai berkut :

1. Mewujudkan sebuah lingkungan sosial yang menunjang pembelajaran yang baik;

2. Membuat siswa beraktivitas dalam lingkungan belajar tersebut melalui beragam strategi instruksional;

3. Menyutradarai dan memfasilitasi hubungan antara aktivitas yang dilakukan siswa dengan proses belajar yang terjadi dalam diri siswa.

Mewujudkan Aktivitas Belajar yang Efektif


Lantas bagaimana caranya membuat siswa dapat melakukan aktivitas yang kita desain tersebut. Jawaban dari Vygotsky amat sederhana. Hukum psikologi paling sederhana mengatakan bahwa seseorang akan melakukan sesuatu yang dibutuhkannya, diinginkannya, disukainya. Apabila kita ingin agar anak-anak melakukan aktivitas pembelajaran yang kita desain, pastikan saja kita membuat mereka tertarik dengan aktivitas tersebut, merasa aktivitas tersebut penting untuk diri mereka, dan mereka menyukainya sehingga mereka bersedia melakukan aktivitas tersebut berulang-ulang.

Selanjutnya guru mesti memperhatikan tentang kesiapan anak untuk melakukan aktivitas tersebut. Apakah suatu aktivitas memang cocok dengan anak tertentu. Jangan juga melakukan sebuah desain aktivitas yang fit for all. Karena tidak semua aktivitas cocok untuk semua anak. Guru mesti memiliki kepekaan untuk menilai, kecocokan karakteristik aktivitas dengan karakteristik personal anak. Gunakanlah pendekatan psikologis untuk menilai karakteristik pembelajaran seorang anak. Berbekal karakteristik tersebut, sesuaikanlah aktivitas pembelajaran yang kita berikan kepadanya.

Baca Juga: Empat Skill Era Digital, Kamu Harus Punya Ini  


Proses inilah yang membuat socio-constructivism menjadi motor utama dalam teori personalized learning. Karena pada muaranya, seorang pendidik berparafigma socio-constructivist, akan selalu melakukan upaya lebih untuk mengenal setiap anak-anak didiknya. Lalu menyiapkan aktivitas belajar yang sesuai dengan karakteristik mereka.

Berat dan memang perlu usaha lebih keras. Namun ketika kita berhasil sebagai seorang guru menyediakan aktivitas pembelajaran yang disukai, diinginkan, dan dibutuhkan oleh seorang anak, lalu dia mengambil pelajaran dari pengalamannya melakukan aktivitas tersebut akan menjadi keberhasilan bagi gurunya. Pengetahuan yang dihasilkan dari proses ini secara psikologis akan tersimpan lebih dalam dan lebih bermakna, bahkan akan menimbulkan sebuah behaviour baru pada diri anak. Bukankah timbulnya behaviour baru dalam diri anak yang sesuai dengan nilai-nilai luhur ideologi negara adalah harapan tertinggi dari pendidikan karakter? Jelas untuk mewujudkannya, Indonesia membutuhkan socio-constructivism untuk menjadi landasan filosofis pedidikan modern di negeri kita.

Teori inilah yang menjadi dasar dari pedagogi abad 21. Sebuah teori yang menekankan bahwa The journey is more important than the destination. Sebuah teori yang menekankan pentingnya untuk belajar dari suatu proses, bukan sekadar melihat hasil di akhir perjalanan. Pertanyaan yang sama saya ajukan kepada seluruh pendidik Indonesia yang membaca tulisan ini. Apakah kita sudah siap berubah?


Biodata: Diki Hermawan, S.Pd., M.Ed.(C). Sarjana Pendidikan Bahasa Indonesia, FKIP UHAMKA, Jakarta. Lulusan terbaik FKIP UHAMKA Tahun 2018. Kader PK IMM FKIP UHAMKA. Master Candidate of Education Science at Institute Psychology and Education, Kazan Federal University, Republic Tatarstan, Russian Federation. Saat ini Ketua PCIM Rusia 2019-2022.

Posting Komentar

0 Komentar