Pendekatan Educational Psychology Developmentalisme



GHIRAHBELAJAR.COM, Oleh Diki Hermawan*

Kita sampai pada bagian terakhir dalam rangkaian artikel yang membahas tentang socio-constructivism yang penulis ketengahkan sebagai landasan filosofis pendidikan modern Indonesia. Penting untuk diketahui, pada pendidikan Rusia, socio-constructivism menjadi salah satu landasan filosofis pendidikan modern abad 21 mereka bersama dengan teori post-modernism.

Artikel ini kita akan fokus membahas terkait developmentalisme sebagai suatu pendekatan pembelajaran yang merupakan turunan langsung dari socio-constructivism. Developmentalisme sendiri di Rusia, tidak sebatas diterapkan sebagai pendekatan pembelajaran, tetapi juga sebagai pendekatan educational psychology.

Pendekatan developmentalisme dalam pendidikan berada dalam ruang-ruang pemikiran pendidikan progresif dan humanis. Kurikulum pendidikan dapat saja berganti-ganti, namun keberpihakan terhadap anak-anak harus tetap dirawat. Penanggung jawab teknis merawat keberpihakan pendidikan humanis bagi anak-anak ada di tangan para guru. Inilah peran dari pendekatan developmentalisme, sebagai senjatanya para guru memelihara pendidikan humanis.

Sebelum dilanjutkan membaca, baca juga dua tulisan sebelumnya:

Mengenal Lev Vygotsky dan Falsafah Socio-Constructivism

Ide Dasar Socio-Constructivism, Filosofi Pendidikan Modern


Pendekatan developmentalis dalam pendidikan kritis terdapat dua tokoh yang sentral. Keduanya adalah Lev Vygotsky dengan konsep Zone of Proximal Development dan John Dewey dengan konsep Progressive Learning. Keduanya memiliki kemiripan dalam penerapannya, namun terdapat juga perbedaan dalam beberapa bagiannya. Namun, pada kesempatan kali ini, kita akan fokus membahas pendekatan Developmentalis menurut Lev Vygotsky.

Zone of Proximal Development


Konsep pertama dari pendekatan pembelajaran developmentalis adalah Zone of Proximal Development (ZPD). Konsep ini adalah buah pikir dari Vygotsky tentang educational psychology. ZPD juga merupakan sebuah kunci untuk memahami semesta berpikir Vygotsky tentang pembelajaran dan pertumbuhan mental serta pikiran anak.

Zone of Proximal Development berangkat dari asumsi sederhana. Bahwa terdapat jarak yang harus ditempuh, ruang yang harus diisi, dan gap yang harus dipenuhi antara anak yang semula pada kondisi tidak mengetahui atau memahami suatu ilmu pengetahuan menuju kondisi mengetahui dan memahami suatu ilmu pengetahuan. Jarak, ruang, dan/atau gap itulah yang disebut sebagai suatu Zone of Proximal Development.
 



Sumber : educationaltechnology.net
 

Vygotsky berpendapat bahwa pada zona itulah proses-proses pembelajaran terjadi dan dilakukan. Pembelajaran dilakukan untuk membuat anak dapat melewati Zone of Proximal Development-nya dalam memahami suatu subjek ilmu pengetahuan. Dan untuk mendidik anak melalui atau mengisi ruang ZPD-nya, seorang anak tidak dapat mengandalkan dirinya sendiri.

Vygotsky melalui teori socio-constructivism-nya percaya bahwa pada akhirnya anak memang akan belajar dari dirinya sendiri, dan akan mengajarkan dirinya sendiri. Namun, bukan berarti anak dapat melakukan proses pembelajaran tersebut sendiri. Dibutuhkan rangkaian dinamika kerjasama antara anak dengan gurunya atau orang lain yang lebih dewasa dan teman sebayanya. Rangkaian dinamika itulah yang seharusnya diwujudkan melalui serangkaian aktivitas terencana dan terstruktur yang dilakukan selama anak itu menempuh pendidikan di sekolah.

Scaffolding



Sumber : medium.com

Lantas bagaimana caranya sekolah dan pendidikan formal menerapkan pendekatan Zone of Proximal Development pada tataran praktis? Sayangnya Vygotsky tidak diberikan kesempatan umur panjang untuk menjawab pada pertanyaan seteknis itu. Namun, beliau meletakkan arahan yang menjadi dasar bagaimana cara menerapkan Zone of Proximal Development dalam pendidikan di lembaga kita masing-masing.

Konsep yang Vygotsky letakkan sebagai kompas penerapan Zone of Proximal Development adalah konsep scaffolding. Jika kita pernah melihat bagaimana proses konstruksi suatu bangunan, tentu kita akan melihat ada rangka-rangka dari besi ataupun kayu yang dirangkai untuk menopang bangunan tersebut selama proses pembangunan dilakukan. Lalu apabila pondasi bangunan sudah “solid” dan sudah aman untuk dapat berdiri sendiri, barulah rangkaian penopang awal tersebut dilepaskan.

Begitupun dengan mendidik anak menggunakan pendekatan Zone of Proximal Development. Sekolah melalui seluruh civitas akademikanya (kepala sekolah, guru, karyawan sampai seluruh siswa), harus berperan sebagai scaffolding, sebagai rangkaian rangka penopang awal, yang bertugas menopang anak. Sampai pada saat tertentu, barulah penopang tersebut dilepas.

Penerapan Nyata di Sekolah Rusia



Sumber : facebook.com/sifututor

Lantas apa indikator yang dapat guru lakukan untuk menyusun scaffolding tersebut? Pada tahap inilah seluruh upaya komprehensif dan kerjasama guru lintas bidang studi, lintas departemen (akademik kurikulum dan pembinaan kesiswaan), BK dan wali kelas, semuanya bekerja. Apa yang harus dilakukan? Begini cara sekolah-sekolah menengah yang penulis amati di Rusia menerapkannya Zone of Proximal Development.

Pertama, seorang anak yang masuk ke suatu sekolah pasti melalui serangkaian tes yang sifatnya bukan sebagai tes seleksi, melainkan tes screening yang ditekankan pada beberapa aspek, minimalnya mencakup aspek berikut ini: 1) tingkat IQ, 2) penelusuran minat bakat, 3) tipe kepribadian, 4) Adverse Childhood Experience Test, dan 5) jenis kecerdasan majemuk.

Sekolah-sekolah menengah di Rusia hanya menerima anak-anak yang memiliki kategori khusus sesuai dengan kecerdasan majemuk anak tersebut. Misalnya, untuk sekolah medis, tentu saja hanya anak-anak dengan minat bakat dan kecerdasan majemuk yang sesuai dengan bidang medis lah yang diterima. Begitu pun untuk sekolah atlet, sekolah pelaut, ataupun sekolah musik dan teater.

Tidak perlu khawatir, di Rusia, sebelum seorang anak lulus dari jenjang pendidikan dasar, anak dan orang tua telah melalui rangkaian bimbingan karir yang lebih dahulu. Mereka melakukan screening terhadap minat bakat dan kecerdasan majemuk setiap anak. Tidak luput konsultasi tentang parenting juga dikuatkan pada orang tua sehingga parenting yang dilakukan sesuai dengan keadaan anak. Sehingga, tidak mungkin seorang anak akan lulus dari sekolah dasar tanpa memahami tipe kepribadiannya, minat bakatnya, dan kecerdasan majemuknya.

Kedua, sejak awal setiap guru melakukan pretest dan diagnostic assessment, baik berupa cognitive diagnostic assessment ataupun noncognitivie diagnostic assessment. Assessment tersebut merupakan langkah awal dari proses panjang formative assessment.

Berbekal hasil diagnostik tersebut, setiap guru menyusun modul pembelajaran dari subjeknya yang menyesuaikan dengan hasil diagnostik pada setiap kelompok siswa yang homogen hasilnya. Modul tersebut berisi deskripsi, petunjuk, instruksi, dan template laporan dari rangkaian aktivitas praktik (laboratorium ataupun PBL) yang harus dilakukan siswa. Perlu diakui, di Rusia sekalipun menerapkan modulasi pada setiap siswa secara personal masih sulit dilakukan.

Ketiga, setiap guru bidang studi membagi dua fase dalam setiap subjek yang diajarkannya. Fase pertama, adalah fase teoritis, yakni fase ketika guru dalam satu bulan pertama setiap semesternya memberikan brainstorming tentang aspek-aspek teoritis dari subjek yang dia ajarkan. Fase kedua, adalah fase praktik, yakni fase ketika pembelajaran tidak lagi diisi dengan ceramah guru di depan kelas. Pada fase praktik ini, pembelajaran dilakukan dengan berbagai maca aktivitas, mulai dari praktikum, memecahkan masalah, diskusi, seminar, pembuatan karya, dan sebagainya. Siswa begerak aktif dalam pelajaran ini. Pada fase praktik ini, proses belajar setiap siswa dilakukan sesuai dengan modul yang dimiliki, dan bisa jadi berbeda dengan siswa lain atau kelompok siswa lain.

Terakhir, Pendidikan di Rusia percaya bahwa penilaian terhadap pembelajaran seharusnya bukan merupakan sebuah penghakiman. Melainkan sebuah proses evaluasi yang komprehensif untuk menyesuaikan pembelajaran dengan jenis model belajar siswa. Sehingga, bila memang seorang siswa lambat memahami satu subjek menggunakan strategi instruksional tertentu, yang perlu berubah bukan hanya siswanya, tapi juga gurunya. Siswa dimotivasi untuk dapat meningkatkan ketekunan belajar, guru juga perlu mencari cara lain agar siswa tersebut berminat dan mampu memahmi subjek yang diajarkannya. Perlu diingat, menyesuaikan dengan kebutuhan dan keadaan siswa, bukan dengan “kemauan” siswa.

Konsekuensi menerapkan Zone of Proximal Development adalah, tidak diperlukannya ujian akhir atau ujian kelulusan berbasis standarized test. Karena kecepatan belajar siswa dalam melalui Zone of Proximal Development-nya akan berbeda satu sama lain.

Penentuan keberhasilan belajar siswa ditentukan oleh dirinya sendiri ketika menyelesaikan modul pembelajarannya. Karena pada setiap semester, penilaian dilakukan melalui tiga tahap. Tahap pertama, penilian terhadap penyelesaian modul pembelajaran yang dibuktikan dengan laporan hasil praktik atau aktivitas pembelajaran. Tahap kedua, penilaian terhadap hasil proyek akhir yang merupakan proyek lintas subjek bidang studi. Tahap ketiga, penilaian berdasarkan hasil pemaparan siswa dalam seminar portofolio belajarnya.

Dengan cara ini, setiap siswa belajar dan berusaha untuk menyusun portofolio belajarnya sesuai dengan potensi dirinya sendiri. Mereka tidak perlu saling bersaing untuk menyamakan portofolionya dengan orang lain. Mereka hanya perlu memastikan, bahwa portofolio pembelajarannya sudah merekam dan melaporkan bahwa dirinya sudah memaksimalkan seluruh potensinya secara personal selama menempuh pendidikan di sekolah tersebut.

Refleksi


Kita sampai pada bagian terakhir dari rangkaian artikel tentang socio-constructivism sebagai landasan filosofis pendidikan modern. Pendidikan Rusia telah membuktikan bahwa teori ini memang efektif digunakan sebagai landasan filosofis bahkan hingga taraf praktis pendidikan modern abad 21 di negeri mereka.

Bagaimana dengan di Indonesia? Tentu saja kita sahrusnya sudah memutuskan akan di bawa ke mana pendidikan modern negeri kita? Akan kita didik dengan cara bagaimana anak-anak kita? Apakah kita mendidik anak-anak kita untuk menjadi apa atau menjadi siapa? Apakah kita mendidik anak-anak kita untuk menjadi manusia atau menjadi alat produksi?

Rusia sudah memilih, pendidikan adalah proses mamanusiakan manusia. Kerja-kerja pendidikan adalah kerja-kerja kemanusiaan. Dan sekolah adalah tempat berlangsung dinamika antar manusia yang mengharapkan tumbuhnya manusia dewasa yang cerdas, baik, dan bertanggung jawab bagi dirinya sendiri serta bangsanya.

Sekali lagi pertanyaan ini saya ulangi. Kita mau bawa ke mana pendidikan negeri kita?



Biodata: Diki Hermawan, S.Pd., M.Ed.(C). Sarjana Pendidikan Bahasa Indonesia, FKIP UHAMKA, Jakarta. Lulusan terbaik FKIP UHAMKA Tahun 2018. Kader PK IMM FKIP UHAMKA. Master Candidate of Education Science at Institute Psychology and Education, Kazan Federal University, Republic Tatarstan, Russian Federation. Saat ini Ketua PCIM Rusia 2019-2022.



Posting Komentar

0 Komentar