Intelektual Lintas Negara Kaji Pemikiran Buya Syafi’i Maarif



SELANGOR – Buya Syafi’i Maarif yang sering dijuluki Sang “Guru Bangsa” dan “Muazzin Bangsa” telah berpulang pada Jumat (27/5) Mei yang lalu. Bukan saja kehilangan besar bagi Indonesia maupun persyarikatan Muhammadiyah, namun juga bagi rantau nusantara khususnya maupun global pada umumnya. Ada cerita-cerita menarik yang diutarakan oleh para sahabat dari Singapura dan Malaysia tentang perjumpaan mereka baik secara langsung dengan Almarhum Buya Syafi’i Maarif maupun melalui pembacaan terhadap pemikiran-pemikiran beliau dalam dialog yang bertema “Membumikan Islam: Buya dan Pemikirannya” di Gerak Budaya, Petaling Jaya, Selangor, Malaysia, Ahad (19/6).

“Jarang ada tokoh organisasi yang mampu keluar dan menjadi panutan di luar organisasinya,” ujar Rozali Ahmad, aktivis muda Nahdatul Ulama yang juga konten kreator untuk TV NU dalam diskusi mengenang Almarhum Ahmad Syafi’i Maarif di Gerak Budaya, Petaling Jaya, Malaysia, Ahad (19/6) lalu.

Dialog sekaligus acara untuk mengenang kepergiaan Sang Muazin Bangsa itu terselenggara berkat kolaborasi dari para intelektual muda dari Singapura yang tergabung dalam Reading Group Singapura dan perwakilan dari departemen kajian Melayu Universitas Nasional Singapura bersama dengan jaringan literasi dan advokasi dari Malaysia seperti Sister in Islam (SIS), Warung Neo Tradisionalis, Jurnal Sang Pemuda, dan Lestari Hikmah. Yang turut juga mengundang perwakilan dari PBNU dan Pimpinan Cabang Istimewa Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Malaysia (PCI-IMM Malaysia).

Acara yang dimoderatori oleh Mansurni Abadi yang juga pengurus divisi riset dan penelitian IMM Malaysia ini, dibuka oleh sambutan dari Dr. Azhar Ibrahim, dosen dari jabatan pengajian Melayu, Universitas Nasional Singapura (NUS) yang membuka diskusi dengan cukup komprehensif mengenai tema-tema besar dari pemikiran Buya Syafi'i Maarif. Lalu dilanjutkan dengan tanggapan dari Huda Ramli (Sister in Islam Malaysia), Ahmad Rozali (PBNU), Aunillah Ahmad (IMM Malaysia), Mansurni abadi (IMM Malaysia), dan Mohamed Imran Mohamed Taib (Reading Group Singapura).

Tak lupa juga, Dr. Azhar Ibrahim dalam sambutan juga bercerita pengalaman pribadinya mejamu Buya dan Istrinya di kediaman keluarganya di Singapura yang baginya amat berkesan. Bahkan Buya menyempatkan waktunya untuk berbincang-bincang dengan pembantu pribadi keluarga Dr. Azhar yang berasal dari Indonesia dengan logat Jawa, “Pada saat itu Buya selain berbincang dengan ibu saya juga dengan pembantu saya yang berasal dari jawa, saat itu dirinya menanyakan kabar dengan logat jawa,” ujarnya.

Selain itu Dr. Azhar pun menambahkan kesederhanaan Buya memang sangat teruji bahkan ketika ditawari hotel elite di Singapura beliau memilih untuk tidur di hotel biasa. “Sebagai seorang intelektual beliau sangat konsisten terhadap wacana-wacana kemanusiaan tanpa terjebak dengan kepentingan-kepentingan politik,” kata penulis buku Menyanggah Belenggu: Kerancuan Pemikiran Masa Kini itu.

Menurut Rizki Juli Dasilva, pengurus Muhammadiyah Malaysia dalam sesi tanggapan setelah pembentangan dari masing-masing pembicara, menuturkan jika Buya adalah pribadi yang egaliter, tampil apa adanya, low profil tanpa pura-pura dan tanpa dibuat-buat. Hal senada juga dipertegas oleh Saudara Aunilah Ahmad, Ketua Umum PCI IMM yang mengatakan meskipun usia antara dirinya dengan Buya sangat jauh sebagai sesama alumni Mualimin Jogjakarta.

“Namun, perjumpaan dengan beliau sangatlah berkesan sebagai sosok yang mengajarkan tentang arti keserhanaan dan tidak ingin diistimewakan,” kata mahasiswa degree jurusan politik, UIA Malaysia itu.

Jika dalam istilah tasawuf, almarhum orang yang qanaah dan zuhud terhadap kemewahan materi dan kehormatan duniawi. Tentang keserderhanaan ini, banyak kader Muhammadiyah yang sempat bercerita meskipun Buya pernah menjadi pucuk pimpinan Muhammadiyah, ia masih rela antri menunggu giliran dipanggil sebagai pasien di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, bahkan duduk di bangku pasien sama seperti pasien lainnya.

Dari segi pemikiran Mohamed Imran Mohamed Taib dari Reading group Singapura menyentuh dua aspek penting dari Buya yang harus kita lanjutkan: 1) membangun intelektualisme agama yang maju dan terkedapan, dan 2) memperkuatkan keilmuan yang berlandaskan pensejarahan yang kukuh dan melawan mitos. Sementara Huda Ramli dari Sister in Islam menyoroti pemikiran Buya Syafii terhadap perempuan yang menurutnya sangat penting dalam melawan konservatisme agama yang menyekat perempuan. Adapun dari perwakilan PBNU yang diwakili oleh Rozali Ahmad, menyamakan ketokohan Buya yang berhasil keluar dari kepompong organisasi yang kemudian menjadi tokoh bangsa seperti halnya Gus Dur, apalagi kedua tokoh sama-sama memperjuangkan moderasi agama.

Diskusi yang berlangsung hampir dua jam ini kemudian ditutup oleh Mansurni Abadi atau yang akrab disapa Adi dengan mengingatkan agar pemikiran Buya jangan sampai difosilkan lewat serangkaian peringatan sama seperti pemikiran Soekarno dan tokoh-tokoh besar lainnya. “Refleksi terhadap pemikiran buya, baik dalam wacana maupun tindakan adalah hal yang sangat penting selalu melahirkan buya-buya muda setelahnya,” ujar mahasiswa Universitas kebangsaan Malaysia (UKM) yang juga pengurus RPK IMM Malaysia itu.

Posting Komentar

0 Komentar