Hikmah dalam Legenda Desa Manduro Manggung Gajah


GHIRAHBELAJAR.COM, Oleh Amalia Munfaati

Setiap tempat, daerah, atau wilayah memiliki penamaan dengan maksud tertentu. Biasanya penamaan tersebut berkaitan dengan cerita-cerita terdahulu seperti legenda yang membahas tentang asal usul sebuah daerah. Legenda merupakan kategori sastra lisan yang disebarkan melalui lisan secara turun temurun. Seperti halnya penamaan Desa Manduro yang terletak di Kecamatan Ngoro-Kabupaten Mojokerto. Desa Manduro banyak dikenal oleh masyarakat karena letaknya yang berdekatan dengan gunung Penanggungan.

Sebagian orang menganggap penamaan Desa Manduro berasal dari latar belakang penduduk desa yang rata-rata adalah orang Madura. Sementara itu, terdapat sebuah legenda Desa Manduro Manggung Gajah yang beredar di desa Manduro. Dalam kaitannya, terdapat patung menyerupai gajah di lereng gunung Penanggungan, desa Manduro. Konon, patung tersebut merupakan seekor gajah yang dikutuk oleh Nyai Rumina Agung, seorang pembabat hutan dari Madura, karena gajah tersebut durhaka kepada ibunya.

Legenda Desa Manduro Manggung Gajah berawal dari kedatangan Nyai Rumina Agung untuk menebang atau membabat hutan di sekitar gunung Penanggungan dengan kesaktiannya. Ketika sedang menjalankan tujuannya, tiga ekor gajah datang menemui Nyai Rumina Agung untuk memohon agar menyisakan sedikit hutan sebagai tempat tinggal mereka. Tiga gajah tersebut merupakan seekor induk gajah dan dua anak gajah. Awalnya, Nyai Rumina Agung tidak menggubris permintaan gajah tersebut.

Namun, induk gajah berkata bahwa mereka akan membantu Nyai Rumina Agung untuk membabat hutan di dekat Gunung Penanggungan. Nyai Rumina Agung pun menyetujui. Tidak lama setelah itu, ketika Nyai Rumina Agung mencari induk gajah, ia terkejut melihat seekor anak gajah yang membunuh induk dan saudaranya. Nyai Rumina Agung murka, kemudian mengutuk anak gajah tersebut menjadi patung. Dengan demikian, daerah yang terletak di bawah patung gajah itu dinamakan Desa Manduro Manggung Gajah. Manduro atau Madura yang merupakan tempat asal Nyai Rumina Agung, Manggung yang berarti tempat lebih tinggi, serta gajah karena yang membuat ulah adalah seekor gajah.

Senada dengan asal usul desa Manduro Manggung Gajah, perilaku manusia tentu tidak lepas dari peran sastra lisan yang mengandung nilai moral dan nilai sosial. Adapun nilai moral yang terkandung pada legenda tersebut adalah sebuah sikap berbakti kepada orang tua, menghormati orang tua, serta menghargai dan menyayangi seseorang yang lebih muda, sebagai contoh saudara gajah yang telah dibunuh oleh saudaranya sendiri. Legenda Desa Manduro Manggung Gajah mengajarkan manusia agar lebih hati-hati dalam bertindak, tidak gegabah apalagi sampai merugikan orang lain, serta saling membantu seperti yang dicontohkan Nyai Rumina Agung pada gajah.

Perilaku gajah yang membunuh induknya berkaitan dengan sosok orang tua yang berperan penting bagi kehidupan anaknya. Pada legenda desa Manduro Manggung Gajah diceritakan bahwa induk gajah meminta Nyai Rumina Agung agar menyisakan lahan hutan sebagai tempat tinggal induk gajah dan anak-anaknya. Induk gajah mencerminkan perilaku orang tua yang selalu mengusahakan segala sesuatu untuk anak-anaknya. Kasih sayang yang diberikan seolah-olah tidak ada masanya, bahkan hingga akhir hayat.

Legenda tersebut memang tidak diceritakan terkait alasan gajah membunuh induknya dan saudaranya. Kendati demikian, dapat diketahui bahwa perilaku gajah tidak patut ditiru apalagi oleh manusia yang memiliki akal dan fisik yang lebih sempurna dari binatang. Seorang manusia hendaknya dapat mengontrol perilaku yang diperbuat dan sadar akan konsekuensi yang diterima apabila melanggar norma-norma sosial dan kemanusiaan. Seperti pada legenda tersebut, diceritakan bahwa gajah mendapat kutukan dari Nyai Rumina Agung karena telah membunuh induk dan saudaranya. Dengan demikian, legenda Desa Manduro Manggung Gajah dapat dijadikan pengingat bahwa setiap tindakan atau perbuatan pasti ada konsekuensinya.

Pernyataan di atas dapat direfleksikan dengan fungsi sastra lisan sebagai kontrol diri manusia dalam bertindak. Keberadaan sastra lisan pada setiap daerah memiliki peran yang sama yaitu sebagai pembelajaran agar manusia tidak mengulangi kesalahan pada kasus-kasus di masa lalu seperti durhaka kepada orang tua, serta sebagai alarm agar sesuatu yang dilakukan tidak di luar batas. Oleh sebab itu, pentingnya berpikir sebelum bertindak dapat memengaruhi sesuatu yang akan terjadi setelah kita melakukan sebuah hal, entah berupa konsekuensi karena telah melanggar atau berupa reward atau penghargaan jika kita melakukan hal sesuai dengan aturan.

Posting Komentar

0 Komentar