Feminisme dan LGBT dalam Perspektif Islam


GHIRAHBELAJAR.COM, Oleh Siti Nuroh, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Problem Feminisme


Di antara banyaknya diskursus kontemporer, salah satu yang sangat menyita banyak perhatian adalah wacana feminisme. Feminisme sendiri lahir dari historitas sejarah yang panjang mengenai perempuan di Barat. Karena sejarahnya wanita di Barat memang diperlakukan secara tidak adil, di mana wanita banyak yang menjadi korban inquisisi gereja dan hanya menjadi korban pemuas nafsu laki-laki semata. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila wanita Barat menjadikan agama dan laki-laki menjadi musuh utamanya (Hamid Fahmy, 2012).

Kompleksitas problem feminisme ini bisa dipahami dengan maraknya kemunculan berbagai bentuk gerakan feminisme. Sehingga, feminisme bukanlah paham yang muncul dari satu pemikiran teoritis dan gerakan yang tunggal, yang berlaku bagi all women times. Dikarenakan feminisme sebagai gerakan maupun sebagai alat analisis selalu bersifat historis dan konstektual.

Artinya, munculnya paham feminisme ini merupakan respon atas masalah-masalah perempuan yang aktual dan kontekstual, terutama yang menyangkut problem ketidakadilan terhadap perempuan. Meskipun secara teoritis sangatlah sulit dalam memberikan definisi mengenai apa itu feminisme dalam berbagai bentuk pemikiran maupun gerakan.

Namun, menurut Kamla dan Nighat, yang disebut dengan “kesadaran feminis” adalah kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap kaum perempuan di dalam masyarakat, di tempat kerja dan di dalam keluarga, serta suatu tindakan sadar yang dilakukan oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah kondisi tersebut (Budhy Munawar, 2004).

Baca Juga: Hentikan Stigma terhadap Perempuan


Kesadaran terhadap “penindasan terhadap perempuan” inilah yang menjadikan kebecian para feminis terhadap “patriarkhi”. Karena patriaki sendiri dipandang oleh para feminis Islam sebagai awal mula kebencian terhadap perempuan yang mendasari penulisan-penulisan keagamaan yang bias kepentingan laki-laki.

Oleh sebab itu, para pegiat feminis berusaha untuk menunjukkan kepada kita bahwa “kerja di rumah” (sektor domestik) bukanlah kodrat perempuan. Namun, dalam istilah Peter L Berger merupakan “kontruksi sosial”, yang didasarkan pada kepentingan tertentu, baik secara individual maupun sistem patriarki.

Juga sebaliknya “kerja di luar rumah” (sektor publik) bukanlah kodrat laki-laki. Itulah sebabnya, apabila ada “peran ganda perempuan” maka feminisme juga dengan lantang mengajukan pertannyaan “mengapa tidak ada peran ganda laki-laki?"

Semua aliran-aliran feminisme sepakat untuk mendorong perempuan agar lebih mengaktifkan waktunya di ruang publik. Feminisme liberal terus menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkan wanita pada posisi subirdinat (tidak penting). Mereka digiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan dikondisikan untuk tidak tergantung lagi pada pria (Budhy Munawar, 2004).

Baca Juga: Kritik Sosial tentang Perempuan dalam Film Yuni


Feminisme sendiri pada batasan tertentu lebih menyerupai ‘teologi kemarahan’. Gugatan feminisme sebenarnya berawal dari kerancuan pandangan Barat dalam memaknai keadilan, rasional, dan HAM. Dalam masyarakat Barat terjadi perbedabatan sengit yang menuntut penafsiran ulang terhadap al-Kitab yang dipandang penyebab utama dalam merendahkan wanita. Ringkasnya, gerakan feminisme di Barat muncul sebagai reaksi ketidakpuasan terhadap teks-teks Biblis (teks Bible).

Menyikapi Kaum LGBT


Dengan menganut paham feminisme ini, para aktivis LGBT melihat kesempatan untuk melegalkan apa yang mereka lakukan. Di banyak negara Eropa sendiri, sudah banyak negara yang melegalkan perkawinan sesama jenis (perkawinan homoseksual) terutama di seluruh negara bagian AS.

Dengan adanya keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat pada Sabtu, 25 Juni 2015 maka AS menjadi negara yang ke-21 melegalkan perkawinan sesama jenis. Di mana dengan adanya keputusa itu, kini para kaum LGBT khususnya di negara Barat lebih leluasa menyalurkan aspirasi dan orientasi seks yang menyimpangnya. Bahkan mereka mendapatkan hak yang sama sebagaimana keluarga heteroseksual, seperti mendapatkan surat-surat kelahiran dan kematian (Adian Husaini, 2015).

LGBT sendiri berlindung di bawah instrumen HAM yang didukung oleh pemerintahan AS. Dengan adanya dukungan tersebut, para pegiat LGBT semakin mantap untuk menyuarakan aspirasinya dengan menuntut diakuinya kesetaraan dengan heteroseksual. Karena bagi mereka, orientasi seksual sesama jenis sama halnya dengan orientasi berlainan jenis.

Baca Juga: Ibu Sumber Inspirasi dan Keteladanan


Bahkan di Indonesia sendiri, suara-suara seruan LGBT semakin keras terasa. Salah satu gerakan itu, contohnya mengusung jargon indah: “Indonesia tanpa diskriminasi”. Gerakan ini dengan jelas berupaya memperjuangkan pengesahan legalisasi pernikahan sesama jenis, sebagaimana yang terjadi di negara AS.

Akan tetapi, nampaknya cita-cita para pegiat LGBT ini tidak akan terwujud. Karena banyak kendala yang membatasi gerak-gerik mereka, terutama dari kalangan agamawan. Bahkan Gereja Katolik di Indonesia pun menolak legalisasi LGBT seperti halnya yang terjadi di AS. Menurut Benny Susetyo seorang Pastor Katolik, menyampaikan bahwa perkawinan sesama jenis ini jelas sangat bertentangan dengan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa.

Namun, hingga saat ini Indonesia secara resmi tidak menetapkan perbuatan homoseksual sebagai tindak pidana, kecuali dilakukan dengan anak di bawah umur. Pada Pasal 292 KUHP menyatakan: “Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya sebelum dewasa, diancam dengan pidana paling lama lima tahun.

Perspektif Islam


Kedudukan wanita dalam Islam sendiri lebih penting dan lebih besar dari sekadar tugas (mencari nafkah) yakni tugas melahirkan dan mendidik anak-anaknya. Jadi pandangan sebagian Muslim Indonesia yang menyatakan bahwa wanita dalam Islam itu ditindas hanya carbon copy dari paham feminisme Barat.

Baca Juga: Uhamka Bentuk Relawan Antikekerasan terhadap Perempuan dan Anak


Meski demikian, tren untuk mengimpor ide keseteraan gender ini mengalir begitu deras bersamaan dengan mengalirnya dana dari luar. Masalahnya bukan pada masalah pengaruh utamaanya, tapi pada kerancuan konsepnya. Ketika konsep ini dibawa masuk ke ranah pemikiran Islam ia merupakan sesuatu yang asing dan tidak compatible dari berbagai sesinya.

Apalagi ketika ia dianggap sebagai pendekatan baru dalam studi Islam, nampak sekali warna impornya. Kerancuannya dapat diteliti dari bagaimana kaum feminis yang menyamakan metodologi penafsiran teks Bible dan teks al-Qur’an (Henri Shalahuddin, 2012). Islam sendiri secara indah telah menggambarkan keserasian laki-laki dan perempuan dalam QS An-Nisa ayat 32.

“Dan janganlah kamu iri terhadap apa yang dikaruniakan Allah pada sebagian kamu lebih banyak dari sebagaian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui atas Segala Sesuatu.”

Dari ayat di atas kita bisa menyadari bahwa Allah sudah adil dalam menciptakan manusia yang beraneka ragam ini, semuanya sudah dibagi dalam porsinya masing-masing secara adil. Dan di balik kekurangan dan kelebihan yang ada pada pribadi laki-laki dan perempuan itu bertujuan untuk melengkapi satu sama lain. Jadi, serasi tidak mesti sama, tapi saling melengkapilah yang akan menjadikanmu menjadi serasi.

Baca Juga: Ide Dasar Socio-Construkctivism, Filosofi Pendidikan Modern


Dalam menyikapi perilaku LGBT, Islam memandangnya sebagai prilaku yang tidak adil dan beradab karena membuang pertimbangan agama dalam memandang fenomena sosial. Karena perilaku homoseksual dan lesbian sudah sangat jelas menyimpang dari realitas dan kebenaran. Maka, sesuai konsep adab, laki-laki, perempuan dan waria harus diletakkan di tempat yang wajar, yang sesuai dengan ketetapan Allah SWT, bukannya mengikuti hawa nafsu dan ego saja.

Sangat tidak adil apabila tidakan amoral ini dilegalkan di Indonesia. Apalagi, Indonseia sendiri merupakan negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia. Karena tindakan homoseksual dan lesbian itu sudah termasuk dari tindakan kejahatan kelas berat, dengan sanksi yang berat juga! Siapa saja yang mengaku dirinya Muslim dan menjadikan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah sebagai pedoman hidupnya tentu akan memahami betapa kejamnya tindakan homoseksual ini.

Bahkan praktik homoseksual ini juga ditolak dan tidak dibenarkan oleh para pemuka agama Yahudi dan Kristen. Selama itu pula manusia tetap manusia. Manusia tidak pernah berganti menjadi monyet. Hubungan sesama jenis jelas telah menyimpang dari fitrah manusia, sebagai manusia. Karena itu, tindakan tersebut disebut sebagai tindakan “fahsiyah”, sesuatu yang keji dan tidak beradab. Pasangan manusia adalah manusia; pasangan laki-laki adalah perempuan dan pasangan monyet adalah monyet pula, begitulah kodratnya. Wallahu a’alam.



Referensi


Adian Husaini. LGBT di Indonesia: Perkembangan dan Solusinya. Jakarta Selatan: INSIST. 2015.
Budhy Munawar-Rachman. Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. Jakarta Utara: Raja Grafindo Persada. 2004.
Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat. Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam. Jakarta: INSISIT-MIUMI. 2012.
Henri Shalahuddin. Indahnya Keserasian Gender dalam Islam. Jakarta Pusat: KMKI. 2012.

Posting Komentar

0 Komentar