Hustle Culture, Dongkrak Kualitas Diri atau Cuma Eksistensi?


GHIRAHBELAJAR.COM, Oleh Roihani Faiziyah

Hustle Culture adalah fenomena baru yang muncul di Indonesia. Melihat bahwa Indonesia yang memasuki periode bonus demografi. Fenomena ini disebut juga dengan Workaholism. Workaholism pertama kali dikenalkan oleh Wayne Oats pada tahun 1971. Hustle Culture atau workaholism adalah gaya hidup baru yang terjadi pada kalangan milenial yang menganggap dirinya akan sukses jika waktu dalam sehari banyak digunakan untuk bekerja dan sedikit digunakan untuk istirahat.

Hustle Culture memiliki sebuah ancama menjadi boomerang pada kalangan milenial jika yang terjadi pada seorang individu tidak sesuai porsi dan kemampuan nya, alih-alih menjadi sebuah hal positif yang membawa pada kesuksesan, bisa memiliki potensi adanya hal negatif pada diri sendiri.

Dampak positif dari Hustle Culture dalam dunia kerja, yaitu meningkatkan persaingan yang kompetitif dan positif terutama di kalangan generasi muda, sehingga mereka akan mendapatkan banyak pengalaman, dan terpacu untuk terus menjadi lebih baik untuk masa depannya.

Baca Juga: Empat Pantun Lebaran  


Tren ini didukung dengan adanya kalimat-kalimat motivasi dari para motivator, dan dengan adanya bukti-bukti berupa cerita dari para orang-orang sukses seperti Mark Zuckerberg, Elon Musk, Steve Jobs dan masih banyak lainnya, yang menyuarakan bahwa bekerja keras dan menghabiskan seluruh waktunya untuk banyak melakukan pekerjaan guna meraih kesuksesan. Dan hal tersebut tidak dipungkiri bahwa generasi muda terkhusus pada kalangan mahasiswa banyak sekali yang memiliki pemikiran kritis mengikuti cara dari para tokoh-tokoh dunia dalam menggapai kesuksesan yang diidamkan.

Mahasiswa adalah seseorang yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Memiliki rentang usia antara 18-25 tahun atau lebih. Menurut Willis, S (2011) usia 18-24 tahun merupakan usia dewasa awal. Pada rentang usia ini, biasanya seseorang mulai sadar dan paham akan pentingnya finansial, sehingga menjadikan mereka berusaha lebih dalam melakukan sebuah pekerjaan.

Mahasiswa sebagai generasi muda saat ini yang disebut sebagai agent of change, memiliki beragam ideologi dan aksi, yang mereka gunakan untuk membuktikan bahwa pada usia mereka, banyak yang bisa mereka lakukan untuk memberikan perubahan dan kebermanfaatan kepada lingkungan yang ada di sekitar mereka.

Baca Juga: Tradisi Memaafkan Saat Lebaran, Perspektif Psikologi   


Sebagaimana dalam memenuhi hasrat mahasiswa yang menggelora, kampus atau perguruan tinggi sebagai lembaga yang menaungi mereka, memberikan banyak sekali wadah berupa organisasi, mulai dari organisasi ekstra-intra, unit kegiatan mahasiswa dan juga diluar kampus masih banyak juga komunitas atau lembaga lain yang memberikan wadah bagi para mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan dan keminatan yang dimilikinya.

Namun berkaitan dengan banyak nya wadah bagi mahasiswa, membuktikan bahwa fenomena hustle culture tidak hanya muncul di kalangan para orang dewasa pekerja yang bekerja habis-habisan dalam kesehariannya untuk mengumpulkan uang demi mencapai kesuksesan, tapi juga muncul di kalangan mahasiswa yang digunakan sebagai sarana bagi mereka untuk meningkatkan kualitas diri dan memperluas jangkauan relasi.

Dalam kajian psikologi sosial fenomena ini bisa dikaitkan pada teori mengenai identitas sosial yang subjeknya adalah mahasiswa. Identitas Sosial menurut Tajfel (1982) adalah rasa keterkaitan seseorang yang berasal dari pengetahuan mereka tentang keanggotaan dalam suatu kelompok sosial bersamaan dengan signifikansi nilai dan emosional dari keanggotaan tersebut. Identitas sosial berkaitan dengan keterlibatan, rasa peduli, dan juga rasa bangga dari keanggotaan dalam suatu kelompok tertentu.

Baca Juga: Pentingnya Regulasi Diri bagi Remaja  


Fungsi identitas sosial adalah untuk membantu menemukan jati diri dan rasa percaya diri yang tinggi, efisien dan efektif. Karena pada dasarnya setiap individu ingin dan selalu melakukan kompetisi untuk memiliki identitas positif di mata kelompoknya dalam rangka mendapatkan pengakuan (recognitio) dari pihak yang lain, sehingga nantinya mereka akan mendapatkan suatu persamaan sosial.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Yunindra (2014) mengenai pengaruh keaktifan mahasiswa dalam organisasi dan prestasi belajar terhadap kesiapan kerja mahasiswa. Penelitian kuantitatif yang dilakukan pada salah satu jurusan pada sebuah universitas ternama di Yogyakarta ini, dengan 187 sampel mahasiswa pada dua angkatan, menunjukkan bahwa terdapat pengaruh signifikan mengenai keaktifan mahasiswa dalam organisasi dan prestasi belajar secara bersama-sama terhadap kesiapan kerja seorang mahasiswa.

Berdasarkan hal tersebut maka tidak bisa dipungkiri bahwa keaktifan mahasiswa dalam mengikuti berbagai macam organisasi ataupun komunitas menjadi sebuah aktivitas yang mayoritas dilakukan oleh mahasiswa selama menjalani masa studi mereka, dan hal ini tidak dipungkiri pula bahwa dapat menyebabkan adanya hustle culture pada mahasiswa, yang memiliki salah satu tujuan adalah memperkuat identitas diri mereka sebagai agent of change.

Baca Juga: Istirahat untuk Kesehatan Mental  


Namun yang menjadi sebuah pertanyaaan dari hal tersebut, apakah tingkat keaktifan organisasi oleh mahasiswa yang menjadi hustle culture ini adalah sebuah sarana meningkatkan kualitas diri atau, hanya soal eksistensi diri?

Meningkatkan kualitas diri dan eksistensi diri adalah sebuah hal yang berbeda. Peningkatan kualitas diri memiliki lingkup dan tujuan pada diri individu masing-masing pelaku, sedangkan eksistensi diri memiliki lingkup dan tujuan untuk diketahui dan diakui orang lain. Eksistensi diri adalah sebuah fenomena yang muncul seiring berkembangnya media sosial hari ini. Fenomena yang menjangkit semua golongan umur untuk menunjukkan diri mereka pada khalayak ramai bahwa diri mereka memiliki sebuah hal baik yang perlu diakui.

Oleh sebab itu, maka perlu disadari bagi kalangan mahasiswa yang aktif mengikuti organisasi ataupun komunitas yang membuat diri mereka sampai banyak terforsir waktunya untuk menjalankan kewajibannya belajar di kampus dan mengikuti berbagai kegiatannya pada organisasi atau komunitas. 

Harus memiliki sebuah kesadaran bahwa yang mereka lakukan di organisasi adalah sebuah cara yang ditempuh untuk meningkatkan kualitas diri atau hanya sekedar untuk eksistensi diri. Karena jika individu berproses di organisasi dengan tujuan meningkatkan kualitas diri, maka apa yang dilakukan di organisasi tersebut juga akan memberikan dampak positif bagi perkembangan organisasi.

Baca Juga: Benarkah Menangis Berarti Lemah?  


Namun, jika yang dilakukan hanya untuk menunjukkan eksistensi diri di kalangan kelompok sehingga dikenal sebagai mahasiswa yang tidak hanya kuliah pulang–kuliah pulang, tapi dikenal sebagai seorang aktivis mahasiswa, maka hal tersebut hanya akan memberikan dampak negatif kepada organisasi, karena individu tersebut hanya membutuhkan label dari orang lain, sedangkan kurang berorientasi untuk ikut serta memberikan sumbangsih pada organisasi.

Posting Komentar

0 Komentar