LGBT dalam Perspektif Gender dan Konsep Aksioma Sosial


 

GHIRAHBELAJAR.COM, Oleh M Sulhan*

Apa Sih yang Dimaksud dengan LGBT?


Generasi milenial tentu tidak asing dengan istilah lesbian, gay, biseksual, dan transgender atau yang dikenal dengan LGBT. Mungkin kita bukan hanya pernah mendengar istilah tersebut, bisa jadi kita pernah menjumpai atau bahkan berkontak langsung dengan mereka. LGBT merupakan sebuah paradoks yang booming dalam generasi ini.

Kata paradox merupakan “sebuah pernyataan yang tampak kontradiksi atau bertentangan dengan akal sehat namun mungkin benar". Sekitar 23 negara di dunia bahkan melegalkan pernikahan sesama jenis. Pernikahan sesama jenis pertama kali disahkan di negara Belanda pada tahun 2001, di negara Amerika Serikat pada tahun 2015, di Austria pada Awal tahun 2019, dan Taiwan pada 24 Mei 2019 dan Costa Rica pada 8 Februari 2020.

Perilaku seksual menyimpang tersebut disinyalir muncul atas orientasi seksual yang menyimpang. Orientasi seksual merupakan kecenderungan seseorang dalam mengarahkan rasa ketertarikan, romantisme, emosional, dan seksualnya kepada pria, wanita, atau kombinasi keduanya (Douglas, Markus, 2015). Biasanya perilaku seksual menyimpang dilakukan oleh komunitas-komunitas tertentu yang memiliki orientasi seksual menyimpang, yang saat ini dikenal dengan LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender/transsexual).

Baca Juga: FOMO, Sindrom Sosial Generasi Kekinian  


LGBT sendiri merupakan suatu istilah yang digunakan mulai tahun 1990-an (Sinyo, 2014), mengubah frasa kelompok gay yang dinilai hanya menggambarkan kelompok-kelompok secara spesifik. Sementara LGBT merupakan gabungan dari kelompok: 1) Lesbian: kelompok wanita dengan ciri fisik, kondisi emosional, dan spiritual mengalami ketertarikan dengan sejenisnya atau wanita lain: 2) Gay: merupakan kelompok pria dengan ciri fisik, kondisi emosional, dan spiritual mengalami ketertarikan dengan sejenisnya atau pria lain: 3) Biseksual, yakni kelompok dengan ciri fisik, kondisi emosional dan spiritual yang mengalami ketertarikan pada pria dan wanita. 4) Transgender, merupakan sekolompok orang yang merasa bahwa dirinya ditempatkan pada diri yang salah, mereka yang merasa bahwa anotomi tubuhnya berbeda dengan jenis kelamin yang mereka miliki. Sehingga kebanyakan dari mereka melakukan operasi gender sesuai dengan harapannaya. (APA: Psychological Association, 2015).

Apakah Gender Itu?


Kajian gender mendeskripsikan gender sebagai sebuah konstruksi sosial sementara ilmu-ilmu dalam ilmu eksakta pemebahasan perbedaan biologis yang membedakan antara laki-laki dan perempuan mempengaruhi pertumbuhan gender pada manusia. Pendekatan tersebut memilki dapat yang signifikan bahwa perbedaan biologis berpengaruh terhadap pembentukan identitas gender pada individu.

Identitas gender itu sendiri menjadi identifikasi personal seseorang terhadap gender dan peran gender tertentu dalam masyarakat. Seksolog asal Selandia baru yaitu John Money menyampaikan istilah peran gender pada tahun 1955.

Istilah peran gender dimaknai sebuah tindakan yang menggambarkan seseorang sebagai laki-laki dan perempuan yang kemudian berimplikasi pada status sosialnya dalam massyarakat. karakteristik gender biasanya mencakup jenis pakaian, gaya bicara, gerakan tubuh, pekerjaan, dan bebrapa hal lain diluar jenis kelamin. Bebrapa ilmuan feminis juga turut memaparkan bahwasanya gender sebagai diskursus yang didiskusikan dalam berbagai forum ilmiah.

Kajian gender memaknai "gender" sebagai konstruksi maskulinitas dan femininitas sosial dan kultural yang disediakan. Gender dalam hal ini melingkup mengenai perbedaan secara biologis dan berfokus pada perbedaan kebudayaan. Makna ini muncul dalam berbagai literatur seperti dari ahli psikoanalisis Prancis yaitu Jacques Lacan, Julia Kristeva, Luce Irigaray, serta dari feminis Amerika Serikat seperti Judith Butler. Dalam pandangan Butler peran gender merupakan sebuah perilaku yang dinamakan "performatif".

Beberapa sosiolog gender memiliki keyakinan bahwa manusia memiliki asal dan kebiasaan kultural dalam membicarakan soal gender. misalnya, sosiolog Amerika Serikat yaitu Michael Schwalbe meyakini bahwa manusia harus diajarkan cara berperilaku yang sesuai gendernya guna mengisi peran gendernya. cara berperilaku maskulin atau feminin berdampak pada ekspektasi sosial.

Baca Juga: Feminisme dan LGBT dalam Perspektif Islam   


Schwalbe comments that humans "are the results of many people embracing and acting on similar ideas". Setiap orang menampilkan perilaku dalam berbagai hal, baik dalam berpakaian dan gaya rambut, pekerjaan, kelompok sosial. Schwalbe berkeyakinan perbedaan dalam gender merupakan sesuatu yang penting di tengah massyarakat hal ini karena kecenderungan massyarakat untuk mengelompokkan seseorang sesuai dengan kategorisasinya.

Apakah Konsep Aksioma Sosial Itu?


Konsep Aksioma sosial merupakan suatu hal yang baru yang dicetuskan oleh Leung, Bond, Reimel de Carrasquel, Muñoz, Hernández, Murakami, Yamaguchi, Bierbrauer, dan Singelis (2002). Aksioma sosial merupakan sebuah keyakinan umum tentang manusia, kelompok sosial, institusi sosial, lingkungan fisik, atau dunia spiritual termasuk tentang kategori peristiwa dan fenomena dalam dunia sosial (Leung & Bond, 2008).

Walaupun pada mulanya aksioma sosial diorientasikan untuk melengkapi konstruk nilai pada studi lintas budaya, akan tetapi pada akhirnya aksioma sosial terbukti juga menyediakan framework umum untuk menginterpretasi lingkup yang lebih luas dari perilaku individual, interpersonal, dan sosial (Bond, 2009). Aksioma sosial terdiri dari lima komponen yakni: sinisme sosial, kompleksitas sosial, imbalan atas usaha, dan religiusitas.

Leung dan Bond (2004) mengusulkan bahwa aksioma sosial secara hierarkis terkait dengan keyakinan dalam beberapa aspek penting kehidupan manusia. Aksioma sosial adalah pernyataan mengenai hubungan antara dua atau lebih entitas yang mengungkapkan pandangan luas tentang seseorang, lingkungan fisik dan sosial, atau dunia spiritual. Aksioma sosial, menurut definisi ini, memiliki struktur: A terkait dengan B. A dan B dapat berupa dua entitas apa pun, dan tautannya dapat bersifat kausal atau korelasional. Persepsi setiap orang tentang kekuatan hubungan mungkin berbeda. "Hal baik terjadi pada orang baik," misalnya, adalah contoh aksioma sosial.

Baca Juga: Feminisme Islam Ingin Menghadirkan Keadilan  


Orang akan mengungkapkan tingkat keyakinan yang bervariasi dalam pernyataan tersebut (Leung et al, 2002). Keyakinan ini disebut sebagai aksioma sosial oleh Leung dan Bond (2002), yang berpendapat bahwa, seperti aksioma dalam matematika, mereka merupakan premis dasar yang ditunjukkan dan digunakan orang untuk memandu perilaku dalam banyak situasi. Konsep ini disebut aksioma karena sering dianggap benar berdasarkan pengalaman pribadi dan sosialisasi, bukan validasi.

Analisis faktor digunakan untuk mengidentifikasi lima faktor yang dapat diterapkan pada kedua budaya. Untuk memastikan pola ini lebih mendunia, Leung et al. (2002) mengumpulkan data dari tiga budaya lain: Amerika Serikat, Jepang, dan Jerman. Ketiga budaya tersebut juga mendukung pendekatan lima faktor. Sebagai hasil dari temuan ini, Leung dan Bond (2004) memulai studi global dengan lebih dari 50 kolaborator dari 40 negara dan kelompok budaya. Temuan CFA penelitian ini mengkonfirmasi bahwa kelima faktor ini adalah jenis faktor yang paling optimal. Berikut kelima faktor tersebut:

  1. Sinisme Sosial: Sikap negatif tentang manusia, prasangka terhadap kelompok sosial tertentu, skeptisisme struktur sosial, dan persepsi bahwa manusia ditantang secara etis ketika mengejar tujuan mereka.
  2. Kompleksitas sosial, sebuah kerangka konseptual yang digunakan dalam menganalisis kehidupan masyarakat.
  3. Imbalan atas usaha, keyakinan bahwa mengerahkan upaya, pengetahuan, perencanaan yang cermat, dan sumber daya lainnya akan menghasilkan hasil yang positif.
  4. Spiritualitas, yang kemudian disebut sebagai religiusitas, karena mencakup tidak hanya kepercayaan pada kekuatan supernatural, tetapi juga berbagai kepercayaan tentang kegunaan organisasi dan ritual keagamaan, itu disebut sebagai religiositas.
  5. Kekuasaan takdir, percaya bahwa peristiwa kehidupan ditentukan oleh banyak faktor eksternal, tetapi ada cara bagi manusia untuk memengaruhi dampak berbahaya kekuatan ini. Analisis faktor bertingkat, teknik analisis yang lebih canggih, juga digunakan untuk mengkonfirmasi lima faktor ini. (Cheung, Leung, & Au, 2006).

Penyebab LGBT dalam Konsep Aksioma Sosial


Pada strata sosial pandangan massyarakat pada umumnya mengakui gender dalam dua peran yaitu feminim dan maskulin. Dua gender ini erat kaitannya dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. tetapi beberapa masyarakat di dunia memiliki kelompok gender yang tidak terikat pada jenis kelamin biologis misalnya orang Bissu pada kebudayaan Bugis dan orang dua roh di kebudayaan pribumi Amerika. Komunitas iini dalam sosiologi disebut sebagai gender ketiga yang terpisah dari kondisi jenis kelamin biologis.

Baca Juga: Kesadaran Gender di Dunia Barat dan Arab  


LGBT dalam pandangan Gender itu sendiri merupakan suatu bentuk dari kegagalan kontruk sosial dalam memberikan suatu pemahaman terkait peran dan fungsi gender, norma kultural yang mengatur materialisasi tubuh, serta bagaimana interaksi antara dua jenis kelamin, karena gender merupakan sesuatu yanng ditentukan dan dibentuk oleh sosial dan budaya. Sehingga hal tersebut berdampak pada seks yang menyimpang dan penempatan eksistensi yang salah dalam diri seseorang..

Sedangkan dalam konsep Aksioma Sosial, hal yang mendasari munculnya kasus LGBT dapat kita amati dari beberapa faktor mendasar dalam kehidupan manusia, pertama, Dalam kasus LGBT, individu yang terlibat di dalamnya sebagai pelaku penyimpangan seksual merupakan konfirmasi dari sinisme sosial yang merupakan prasangka terhadap kelompok sosial tertentu, ketidaksukaan dan anggapan terhadap orang lain bahkan dirinya sendiri dalam lingkungan sosialnya, sehingga cenderung menolak nilai-nilai normatif dan berusaha melakukan pelbagai cara guna memenuhi keinginan dan tujuannya trmasuk dengan melakukan perilaku seks menyimpang.

Kedua, Dalam kompleksitas sosial, komunitas LGBT dipandang sebagai suatu kelompok tertentu yang termaginalkan dan luput dari pandangan struktur sosial baik lembaga adat, agama dan pendidikan. Sehingga kecenderungan untuk melakukan penyimpangan seksual mendapatkan peluang di tengah-tengah massyarakat.

Baca Juga: Toxic Masculinity Versus  Feminism


Ketiga, faktor Spiritualitas atau religiusitas yang mencakup kepercayaan pada kekuatan supernatural, nilai-nilai hukum dan aturan yang ada dalam suatu agama. Faktor religiusitas, konsep beragama, memahami dan menjalankan agama adalah penentu baik dan buruknya perilaku sosial dalam suatu massyarakat dan komunitas tertentu. Kasus LGBT yang dilakukan oleh suatu komunitas menandakan minimnya pemahaman akan nilai dan hukum–hukum agama, religiusitas sebagai modal utama dalam kehidupan menjadi landasan guna membedakan sesuatu yang layak dan tidak, halal dan haram, serta menjadi faktor yang esensial dalam mencegah perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma massyarakat.

Referensi

https://id.wikipedia.org/wiki/Gender
Khazanah: Jurnal Studi Islam dan Humaniora
Jurnal Pendidikan, Sains Sosial dan Agama

Posting Komentar

0 Komentar